Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Menjadikan Indonesia Pusat Peradaban Ekologis Asia-Pasifik Abad 21

Kompas.com - 04/04/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DISPLAI buku Ecological Civilization (dalam bahasa Mandarin) terbit tahun 2017, muncul pada konferensi keragaman hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (Convention on Biological Diversity/UN Cop15) di Kunming, Tiongkok, Oktober 2021. Sebagian besar konferensi UN Cop15 itu berlangsung online dan dibuka Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Sekitar 100 negara menandatangani deklarasi Kunming tentang keragaman hayati (Ecological Civilization: Building a Shared Future for All Life on Earth).

Buku Ecological Civilization (EC) menawarkan konsep prinsip harmoni ekologis dalam strategi negara Tiongkok. Mula-mula EC dirilis oleh Presiden Tiongkok, Hu Jintao, tahun 2007. Sejak itu EC menjadi retorika kebijakan pemerintah Tiongkok (Goron, 2018:39).

Baca juga: Pembangunan Indonesia dan Bencana Ekologis

Presiden Xi Jinping, misalnya, menyebut EC adalah kekuatan kini dan keunggulan masa datang: “The construction of ecological civilization is the great plan for the sustainable development of the Chinese nation. The construction of the ecological civilization is the power in the present and the advantages in the future.” (Xinhua, 2017).

Tiongkok berupaya mengambil peran kepemimpinan kawasan Asia-Pasifik dan dunia melalui strategi ecological civilization (peradaban ekologis).

Amerika Serikat (AS) adalah satu-satunya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang belum meratifikasi konvensi Convention on Biological Diversity (CBD) sejak 1994. Konvensi CBD memiliki tiga tujuan pokok, yakni (1) konservasi keragaman hayati; (2) pemanfaatan berkelanjutan sumbersumber daya; (3) keadilan pembagian benefit dari sumber-sumber daya genetik keragaman hayati melalui strategi negara.

Sejak tahun 2000, terjadi lonjakan riset ilmiah, kajian, dan laporan pers tentang peradaban ekologis. Tiongkok disebut sulit mewujudkan mimpi peradaban ekologis atau memimpin peradaban ekologis kawasan Asia Pasifik. Dengan mengutip banyak kajian ilmiah dan para ahli, misalnya, Greenfield (2021) menulis, “Superficially, it is the slogan for Chinese efforts to embrace environmental sustainability and move on from four decades of rapid economic growth that have come at great cost to nature.”

Tiongkok menghadapi kendala membangun peradaban ekologis antara lain karena ledakan penduduk memicu sangat besar konsumsi energi, pangan, dan sumber alam. Target net-netral-karbon (zero-emisi-karbon) tahun 2060, sangat terlambat; misalnya, jika melihat target PBB melalui COP26 (Climate Change Conference of the Parties) November 2021 di Glasgow, Scotlandia (Inggris) yakni net-zero emisi karbon tahun 2030.

Meskipun pada opening UN Cop15 di Kunming, Yunan, Presiden Xi Jinping merilis rencana pembiayaan sebesar 233 juta dollar AS untuk perlindungan keragaman hayati negara-negara berkembang. Namun, di sisi lain, Tiongkok melepas emisi karbon paling besar saat ini.

Strategi AS & Tiongkok

Awal abad 21, pusat gravitasi kegiatan ekonomi dunia, berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), bergerak dari kawasan Lautan Atlantik ke daratan Asia-Pasifik. Tahun 2008, pusat gravitasi ekonomi dunia (Danny Quah, 2011:1), bergerak ke Izmir dan Minsk (Eropa Timur) -zona timur Helsinki (Finlandia) dan Bucharest (Romania) sejauh 4.800 km atau sekitar 75 persen radius planet bumi dari pertengahan Lautan Atlantik pada tahun 1980 ke daratan Asia awal abad 21.

Tahun 2050, diperkirakan pusat gravitasi kegiatan ekonomi dunia terletak pada zona antara India-Tiongkok. Riset Danny Quah itu berdasarkan kegiatan ekonomi manusia yang tergambar dalam PDB pada hampir 700 lokasi di permukaan bumi. Pergeseran dari zona Eropa Barat tahun 1980 ke zona India-Tiongkok (2050) menunjukkan pergeseran sejauh 9.300 km atau 1,5 kali radius zona planet bumi.

Kini negara-negara di Asia Pasifik dan Asia Selatan berupaya merespons pergeseran pusat gravitasi ekonomi global tersebut. Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), misalnya, merilis pidato di depan pertemuan ke-29 para pemimpin forum ekonomi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Intercontinental Peninsula Resort, Da Nang (Vietnam), pada 11 November 2017 bahwa laut harus menjadi pusat pembangunan ekonomi inklusif dan terbuka bagi APEC di zona lautan terluas dunia, Samudera Pasifik.

Isu pokok jangka pendek sekilas investasi infrastruktur laut, ekonomi-kelautan (blue economy), integrasi dan pengamanan maritim serta pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan di kawasan APEC.

Maka prioritas kebijakan ialah pemberantasan IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) fishing, mengatasi sampah plastik di laut, dan membangun kelautan dan perikanan. Begitu pula tahun 2014-2017, Indonesia mempercepat pembangunan infrastruktur laut, antara lain melalui pembangunan 24 pelabuhan strategis.

Baca juga: Indonesia Perlu Blue Economy, Apa Itu?

Program blue-economy dan infrastruktur maritim tentu harus mewujudkan tata kehidupan Indonesia yang adil, bersatu, damai, dan berkelanjutan. Ini adalah tugas konstitusional pemerintah Indonesia sesuai amanat alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 serta cita-cita pembentukan negara-bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

AS merespons pergeseran pusat gravitasi sosial-ekonomi planet bumi sejak 1980-an dengan menggeser titik strategis maritime-power dari Eurocentric ke Asia-Pacific-centric awal abad 21. Isu pokok kebijakan strategis AS ialah dampak ekonomi terhadap peran angkatan laut AS di zona strategis secara ekonomi-maritim seperti Asia-Pasifik (Sam J Trangedi, 2002:11). Indikatornya antara lain pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia-Pasifik, khususnya Tiongkok, yang memacu lonjakan kebutuhan pasokan energi, komoditas, dan bahan mentah industri lainnya ke Asia Pasifik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com