KOMPAS.com - Utang pemerintah Indonesia diketahui tembus Rp 7.000 triliun per akhir Februari 2022.
Dikutip dari APBN Kita, data per 28 Februari menyebut utang negara tercatat sebesar Rp 7.014,58 T. Meski demikian, pemerintah menyebut posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman dan wajar, serta terkendali.
Menanggapi tingginya utang yang dimiliki pemerintah ini, beragam reaksi dari masyarakat muncul. Misalnya disampaikan oleh salah satu pengguna Twitter ini.
"Efek IKN,
Utang negara ugal ugalan ekstrem, rakyat di perkosa asal asalan di suruh taat dan bayar pajak, BBM naik gas LPG subsidi rakyat warga masyarakat kecil miskin juga di naikan !!
Rakyat sudah susah tambah susah ambruk makin nyungsep !!!!," tulis salah satu pengguna Twitter.
Pajak naik itu pertanda negara lagi perlu UANG buat bayar ini itu termasuk 'utang'. Dianggap wajar kalo itu adl untuk kelanjutan terselenggara nya suatu negara. Akan tetapi yang jadi persoalan, kenaikan pajak diikuti oleh kenaikan komoditi2 lainnya yang tidak WAJAR. ??ini 'PR'nya
— Otophyn2012 (@otophyn) March 29, 2022
Keluhan ini muncul, karena dalam beberapa waktu terakhir masyarakat tengah dihadapkan dengan kenaikan sejumlah harga komoditas juga pajak.
Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022. Per hari yang sama, harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax juga naik dari kisaran Rp 9.000 menjadi Rp 12.500-13.000.
Baca juga: PPN 11 Persen Diberlakukan Per 1 April 2022, Ini Daftar Barang dan Jasa Tak Kena Pajak
Lalu benarkah menaikkan pajak juga menaikkan harga komoditas menjadi jalan keluar pemerintah untuk mengurangi beban utang yang dimiliki?
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut tidak salah jika masyarakat berpikir demikian.
"Asumsi itu (pajak naik, harga naik, masyarakat dibebankan demi membayar utang) sah-sah saja," kata Bhima saat dihubungi Sabtu (2/4/2022).
Ia menjelaskan salah satu cara pemerintah membayar pokok utang beserta bunga yang timbul adalah dengan menaikkan target penerimaan pajak.
"Jadi memang betul pajak di masyarakat digunakan untuk membayar utang. Semakin tinggi jumlah utang, maka pajak yang ditarik juga semakin besar," jelas dia.
Pada dasarnya, utang merupakan jalan pemerintah dalam menutup kekurangan pendapatan. Namun, idealnya utang dijadikan sebagai jalan terakhir yang ditempuh ketika penerimaan negara benar-benar tengah mengalami tekanan.
Yang menjadi masalah, menurut Bhima, ketika utang melambung, pajak dinaikkan, masyarakat dituntut untuk taat, tapi dana utang itu tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai pihak yang secara tidak langsung turut menanggung utang.