"Masalah muncul ketika masyarakat yang merasa menjadi objek pajak seperti kenaikan tarif PPN 11 persen, belum melihat rasionalitas dari pemanfaatan utang. Porsi belanja pemerintah pusat masih berat pada birokrasi seperti belanja pegawai, belanja barang bahkan belanja bunga utang sendiri menempati pos teratas," ungkap Bhima.
"Apalagi di tengah tekanan ekonomi yang belum usai saat pandemi, pemerintah nekat gunakan APBN untuk pembangunan IKN. Tentu, hal ini membuat masyarakat akhirnya berasumsi bahwa pajak naik untuk bayar utang," lanjutnya.
Baca juga: Sayembara Desain IKN Berhadiah Total Rp 3,4 Miliar Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
Tak hanya menaikkan pajak, meningkatnya harga-harga barang komoditas di masyarakat juga secara tidak langsung menjadi cara pemerintah untuk mencicil beban utang yang dimiliki.
Bukan uang pembelian dari masyarakat yang digunakan untuk membayar, namun anggaran APBN yang semula banyak digelontorkan untuk subsidi beragam produk komoditas, perlahan mulai dikurangi, sehingga negara memiliki lebih banyak cadangan dana untuk pembayaran utang.
"Itu juga salah satu cara menghemat belanja negara, sehingga beban utangnya bisa terkendali," ujarnya.
Negara memiliki dana lebih banyak, namun sebagai dampaknya, harga naik karena subsidi berkurang, masyarakat pun dihadapkan dengan mahalnya beragam barang kebutuhan hidup.
Bhima mencontohkan pada kasus kenaikan harga Pertamax.
"Alur prosesnya BBM jenis Pertamax masuk kategori nonsubsidi, ketika selisih harga keekonomian semakin jauh maka Pertamina cash flow terganggu, pada akhirnya minta dana kompensasi juga dari APBN," jelas dia.
Baca juga: Pemerintah Sebut Harga Keekonomian Pertamax Bisa Rp 16.000 Per Liter
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.