HAMPIR sebulan berselang di awal tahun, selalu menimbulkan kecamuk rasa dan pikiran terutama mengenang yang sudah.
Tahun 2021 adalah tahun yang muram, utamanya bagi ingatan komunal seniman-seniman jalanan atau karib disebut street artist.
Polemik Nasional penghapusan sejumlah mural oleh petugas keamanan lokal di Tanah Air, telah memaksa Presiden Joko Widodo harus merespons desakan dan protes publik, yang terdiri dari budayawan, jurnalis, pekerja seni, mahasiswa, akademisi, aktivis, kritikus dll.
Mereka bergerak bersama, di TV, juga dengan teks-teks dan meme para netizen di lini media sosial pun aksi-aksi nyata di tembok-tembok kota dengan coretan graffiti.
Terhitung tiga kali, Presiden Jokowi, dalam catatan penulis, memberi komentar, puncaknya sekitar Agustus/September 2021, dengan mengundang beberapa media arus utama di Istana Negara.
Jokowi menyampaikan bahwa Polri jangan terlalu reaktif pada kebebasan ekspresi para seniman.
Kritik di tembok-tembok diperlukan untuk memberi masukan pada Pemerintah, kata Presiden.
Penulis sendiri yang merangkap kurator eksibisi On and Off Pressure pada November 2021, mengingat bahwa pada momentum Juli dan Agustus awal—tepat polemik puncak mural yang dihapus, utamanya imej Jokowi Not Found-- mencoba berpartisipasi dan menginisiasi sejumlah bincang daring terbuka.
Penulis mencari masukan dan membuka wacana dengan dialog yang “menghidupkan kewarasan”.
Menggagas acara diskusi; dengan mengundang berbagai nara sumber ahli, kemudian menjadi moderator seminar daring yang pada akhirnya disambut L Project, sebuah platform proyek digital nasional.
Inisiator eksibisi privat daring yang digagas oleh Ali Kusno Fusin, seorang kolektor dan pemilik galeri rumah lelang untuk menggelar pameran khusus street art.
Selanjutnya, perencanaan acara luring disambut sejumlah komunitas seni jalanan dan individu-individu seniman, dipanggungkan secara luring dengan protokol kesehatan ketat di kompleks perumahahan di Tangerang, dengan membuat graffiti, mural, stencil dll di tembok, mobil, traktor bahkan kanvas yang dikerjakan hanya dalam empat hari.
Lokasinya, satu kilometer dari “episentrum gempa” polemik nasional pada Juli 2021 itu.
Sebagai kurator, tentu saja penulis tak gegabah mengundang para seniman yang akan berpartisipasi dalam acara.
Selain komitmen mempresentasikan refleksi Polemik Nasional tentang Mural, juga pertimbangan untuk memilah dan memilih mereka yang sudah sepuluh tahun lebih berkiprah.
Yang lain adalah meneliti jenis dan pola estetik mereka yang majemuk dan menemukan nama-nama ini: Anagard, Digie Sigit, Farhan Siki, Popo, Arman Jamparing aka Act Move, Bujangan Urban aka Jablay, Media Legal, Edi Bonetski, Hana Madness dan Bunga Fatia.
Mereka, selain berpengalaman terlibat festival street art manca negara, membangun komunitas besar street art selama 15 tahun terakhir, berpameran di galeri-galeri privat dan museum, berpartisipasi di art fair pun menjadi aktivis visual dalam isu-isu sosial, seperti contohnya penolakan Penambangan di daerah Wadas, Jawa tengah dan bergabung dengan sejumlah LSM nasional dalam isu-isu lingkungan hidup juga aktif membela kaum disabilitas.
Yang lain, tetap bergerilya mandiri dengan suara-suara kritis di tembok-tembok kota atau sekedar berkarya bersama menambah jejaring komunitas street art.
Penulis juga memberi perhatian pada cara berekspresi seni jalanan dengan pola stencil dan graffiti, wheat paste atau mural juga tak lepas dari keterwakilan seniman perempuan dan mereka yang sungguh-sungguh terlibat pada aksi-aksi seni aktivisme jalanan; yang hampir separuh lebih dari mereka memang melakukannya selama hidupnya.
On and Off Pressure bisa dimaknai secara bebas, selayaknya cermin yang menangkap wajah-wajah pluralitas seni jalanan.