Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Membumikan dan Mengglobalkan Ideologi Pancasila

Kompas.com - 08/10/2020, 13:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA hari belakangan ini media massa dan media sosial ramai membahas isu yang dilontarkan oleh pihak tertentu mengenai bahaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Isu tersebut segera mendapat respons publik secara luas karena muncul berbarengan dengan momen peringatan Gerakan Tigapuluh September (Gestapu) PKI (30 September), Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober) dan Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI) (5 Oktober).

Terlepas dari siapa yang melemparkan, apa latar belakang dan apa pula tujuannya, isu kebangkitan PKI memang sangat sensitif bagi bangsa Indonesia. Sebab, isu tersebut menyentuh memori historis yang memilukan, sekaligus menohok sistem ketahanan nasional Indonesia.

Salah satu elemen penting dalam sistem ketahanan nasional adalah ketahanan ideologi. Bagi Indonesia, ideologi yang dimaksudkan tentu saja ideologi Pancasila. Suryosumarto (1997: 34) menyebutkan bahwa ketahanan nasional mengandung prinsip dasar pengejawantahan Pancasila dalam segenap aspek kehidupan nasional.

Berbicara tentang ideologi Pancasila, suka tidak suka, kita juga harus merujuk pada pidato Ir Soekarno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.

Dalam pidato tersebut ia menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang mampu menyatukan bangsa Indonesia. Selain itu, Pancasila dapat berperan dalam perdamaian dunia karena menjadi ideologi penyeimbang antara sosialisme dan kapitalisme.

Tantangan berat

Secara filosofis, ideologi Pancasila sudah mencapai titik finalnya. Artinya, rumusan Pancasila yang ada sekarang paling ideal dan paling sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang multikultural dan berbhineka dalam hal Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Meski demikian, ideologi Pancasila tetap saja berada dalam tantangan yang berat. Tantangan utama ketahanan ideologi Pancasila, bukan saja datang dari penyokong ideologi yang bertentangan seperti komunisme, melainkan juga datang dari para pendukungnya sendiri yang tak menghayati nilai-nilai Pancasila secara konsisten.

Tantangan lainnya adalah semakin banyak warga masyarakat yang terhanyut arus globalisasi sehingga cenderung menghayati gaya hidup liberal seraya meninggalkan nilai-nilai Pancasila.

Harus diakui bahwa hingga sekarang nilai-nilai filosofis Pancasila belum menjadi praktik hidup sehari-hari dari sebagian besar warga bangsa Indonesia.

Berkenaan dengan nilai ketuhanan (sila ke-1) misalnya, kita dapat menyaksikan bahwa pada satu sisi semakin banyak warga merelativir, bahkan mengabaikan ajaran agamanya. Tetapi pada sisi lain semakin banyak orang pula yang terpapar radikalisme agama.

Sementara itu, semakin banyak warga masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan (sila ke-2). Hal ini tampak dalam angka kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat. Juga, angka kriminalitas pembunuhan dan aborsi yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

Nilai persatuan yang dikandung oleh sila ke-3 Pancasila juga kian memudar. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya kasus konflik antar kelompok masyarakat. Juga, semakin maraknya ujaran kebencian yang dilontarkan melalui berbagai akun media sosial.

Nilai demokrasi Pancasila (sila ke-4) juga semakin dilemahkan oleh semakin maraknya praktik politik uang dan politik identitas atau menjadikan etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya sebagai alat politik.

Sementara itu, nilai keadilan sosial (sila ke-5) semakin tergerus oleh semakin maraknya praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh sejumlah oknum pejabat publik, di pusat ataupun di daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com