Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Politik Dinasti dan Iklan Mobil

Kompas.com - 01/09/2020, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sekitar masa awal 1998, setelah Presiden (waktu itu) Soeharto mengumumkan susunan kabinetnya yang baru, salah satu televisi di Jakarta menayangkan wawancara dengan aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana.

Ketika itu, ia mengkritisi penunjukan Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) sebagai menteri sosial dan penetapan orang-orang yang duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Nursyahbani, menganalogkan MPR dan pemerintahan saat itu dengan apa yang dikatakan oleh iklan mobil yang punya daya angkut untuk banyak anggota keluarga. Jenis mobil itu disebut sebagai mobil keluarga, karena, kata Nursyahbani waktu itu,” bisa mengangkut Aa, teteh, mak, ceucue, bibi, mang, ambu, apa, nini, aki, sepupu dan seterusnya”.

Saat itu untuk pertama kali saya mendengar istilah sisem politik dinasti diucapkan dari siaran televisi. Kebetulan saat itu saya menonton televisi yang dipasang di salah satu ruang di salah satu gedung Sekretariat Negara, kompleks istana kepresidenan di Jakarta.

Beberapa hari lalu saya kontak lewat telepon Nursyahbani tentang apa yang diucapkannya itu. Ia ingat adegan itu, tapi lupa persis hari dan tanggalnya dan tempat ia diwawancara.

Ia mengatakan, saat itu, penunjukan puteri Soeharto perlu dikritisi, juga penunjukan para istri menteri, gubernur, bupati, wali kota, anak presiden dan seterusnya menjadi anggota MPR. Ia juga ingat hal itu terkait dengan politik dinasti.

Di masa itu juga muncul, kritik terhadap penggunaan istilah “politik dinasti” yang banyak dipakai di Indonesia. Para kritikus mengatakan, penggunaan istilah “dinasti” tidak relevan untuk menyebut bahwa pemilihan atau penunjukan angota keluarga dalam kabinet, MPR dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya.

Dikatakan dia, dinasti itu untuk sistem monarki di mana para rajanya turun temurun berdasarkan kekeluargaan.

Tapi arti istilah dalam bahasa dalam kehidupan manusia ini bukan hal yang statis, tapi hidup dan berkembang menurut selera mssa dan tempat mereka hidup.

Sampai kini “istilah politik atau sistem dinasti” yang hidup di Indonesia seperti atau mirip yang diucapkan oleh Nursyahbani itu.

Pernah ada, sampai saat ini media massa yang mencoba mengganti dengan istilah dinasti itu dengan kosa kata “kekerabatan” tapi rupanya penggunaan “politik dinasti” lebih populer.

Ketika mundur dari kursi ketua dewan pimpinan daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat, 28 Agustus 2020 lalu, Agus Tri Raharjo, antara lain mengatakan,”.....Kami menolak sistem dinasti yang mencederai semangat gerakan perubahan dan demokrasi.”

Agus Tri Raharjo dan belasan fungsionaris DPD Nasdem mundur setelah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem di Jakarta mengusung Etik Suryani - Agus Santoso atau EA untuk maju dalam pemilihan umum daerah (Pilkada) Sukoharjo. Etik Suryani adalah istri Wardoyo Wijaya, bupati Sukoharjo saat ini.

Ketika saya telepon pada Rabu, 26 Agustus 2020 lalu, Nursyahbani masih berada di Den Haag, Negeri Belanda. Ia banyak bercerita tentang politik dinasti yang berkembang di Indonesia saat ini.

Ia juga mengatakan, pada 2019 lalu, dia mendapat doktor honoris causa dalam bidang hak asasi manusia dan feminisme dari School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas of London.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com