Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Politik Dinasti dan Iklan Mobil

Ketika itu, ia mengkritisi penunjukan Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) sebagai menteri sosial dan penetapan orang-orang yang duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Nursyahbani, menganalogkan MPR dan pemerintahan saat itu dengan apa yang dikatakan oleh iklan mobil yang punya daya angkut untuk banyak anggota keluarga. Jenis mobil itu disebut sebagai mobil keluarga, karena, kata Nursyahbani waktu itu,” bisa mengangkut Aa, teteh, mak, ceucue, bibi, mang, ambu, apa, nini, aki, sepupu dan seterusnya”.

Saat itu untuk pertama kali saya mendengar istilah sisem politik dinasti diucapkan dari siaran televisi. Kebetulan saat itu saya menonton televisi yang dipasang di salah satu ruang di salah satu gedung Sekretariat Negara, kompleks istana kepresidenan di Jakarta.

Beberapa hari lalu saya kontak lewat telepon Nursyahbani tentang apa yang diucapkannya itu. Ia ingat adegan itu, tapi lupa persis hari dan tanggalnya dan tempat ia diwawancara.

Ia mengatakan, saat itu, penunjukan puteri Soeharto perlu dikritisi, juga penunjukan para istri menteri, gubernur, bupati, wali kota, anak presiden dan seterusnya menjadi anggota MPR. Ia juga ingat hal itu terkait dengan politik dinasti.

Di masa itu juga muncul, kritik terhadap penggunaan istilah “politik dinasti” yang banyak dipakai di Indonesia. Para kritikus mengatakan, penggunaan istilah “dinasti” tidak relevan untuk menyebut bahwa pemilihan atau penunjukan angota keluarga dalam kabinet, MPR dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya.

Dikatakan dia, dinasti itu untuk sistem monarki di mana para rajanya turun temurun berdasarkan kekeluargaan.

Tapi arti istilah dalam bahasa dalam kehidupan manusia ini bukan hal yang statis, tapi hidup dan berkembang menurut selera mssa dan tempat mereka hidup.

Sampai kini “istilah politik atau sistem dinasti” yang hidup di Indonesia seperti atau mirip yang diucapkan oleh Nursyahbani itu.

Pernah ada, sampai saat ini media massa yang mencoba mengganti dengan istilah dinasti itu dengan kosa kata “kekerabatan” tapi rupanya penggunaan “politik dinasti” lebih populer.

Ketika mundur dari kursi ketua dewan pimpinan daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat, 28 Agustus 2020 lalu, Agus Tri Raharjo, antara lain mengatakan,”.....Kami menolak sistem dinasti yang mencederai semangat gerakan perubahan dan demokrasi.”

Agus Tri Raharjo dan belasan fungsionaris DPD Nasdem mundur setelah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem di Jakarta mengusung Etik Suryani - Agus Santoso atau EA untuk maju dalam pemilihan umum daerah (Pilkada) Sukoharjo. Etik Suryani adalah istri Wardoyo Wijaya, bupati Sukoharjo saat ini.

Ketika saya telepon pada Rabu, 26 Agustus 2020 lalu, Nursyahbani masih berada di Den Haag, Negeri Belanda. Ia banyak bercerita tentang politik dinasti yang berkembang di Indonesia saat ini.

Ia juga mengatakan, pada 2019 lalu, dia mendapat doktor honoris causa dalam bidang hak asasi manusia dan feminisme dari School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas of London.

Dari “bijaksana” jadi “penipu”

Tahun 2020 ini, kosa kata politik dinasti cukup merebak ketika putera dan menantu presiden dicalonkan untuk jadi wali kota. Ditambah lagi, anak dari petugas tinggi Istana juga dicalonkan untuk jabatan eksekutif di daerah. Banyak kritik dan “ejekan”.

Bukan hanya keturunan orang-orang dalam Istana yang dicalonkan, tapi para pejabat di daerah pun melakukan hal yang sama. Maka kritik dan ejekan makin menggema, istilah dinasti politik makin banyak dipakai.

Sebelum bicara soal politik atau sistem dinasti di Indonesia saat ini, kita lakukan dulu loncatan jauh ke masa 2.500 tahun lalu di tanah Yunani, Eropa Selatan.

Loncatan jauh sekali di masa pandemi virus corona ini perlu agar kita belajar dari sejarah. Karena “sejarah itu adalah guru kehidupan”.

Untuk itu, mari kita buka buku karya DR K. Bertens berjudul “Sejarah Filsafat Yunani - Dari Thales ke Aristoteles”. Diterbitkan Penerbit Kanisius Yogyakarta, dicetak pertama tahun 1975.

Buku ini dicetak beberapa kali. Cetakan kedua tahun 1979 dan cetakan ke-10 tahun 1993.

Dari buku cetakan pertama, kita buka halam 67 dan 68. Di sini dikatakan, perkembangan filsafat Yunani dalam pertengahan kedua abad ke-5 sebelum Masehi (abad ke minus lima sebelum Masehi atau sekitar 2500 tahun silam) hidup aliran yang disebut Sofistik dan filsafat Sokrates.

"Kita akan melihat, Sokrates tidak begitu bersahabat dengan kaum Sofis. Filsafat Sokrates sebagian dapat dimengerti sebagai reaksi serta kritik atas pendapat-pendapat kaum Sofis,” demikian tulis Bertens.

Menurut Bertens, nama Sofis (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad - 5 (minus lima atau 2.500 tahun lalu). Arti yang tertua, katanya, adalah “seorang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian bidang tertentu”.

Herodotos, sejarahwan Yunani yang ternama abad - 5 sebelum masehi, memakai istilah sophistes untuk tokoh Pythagoras, filsuf Yunani abad - 5 (abad minus ke-6 atau 2.600 tahun lalu).

Dalam perkembangan yang berliku-liku dam kehidupan manusia di Yunani, nama sofis atau sophistes tidak harum.

“Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya, kata sophist menunjukan seorang yang menipu orang lain dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang tidak syah........Terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles, dengan kritik atas kaum Sofis menyebabkan nama Sofis berbau jelek,” demikian beberapa cuplikan dari buku Dr K Bertens.

Padahal dalam sejarah filsafat Yunani, ada pula para filsuf dari aliran Sofis ini yang mengemukakan pemikiran-pemikiran yang “mulia”. Dari mereka inilah muncul ilmu tata bahasa, sistem pendidikan yang ada sampai saat ini, seni berdebat dengan logika dan seterusnya.

Sebagai catatan tambahan, berkaitan dengan kata sofis, dalam bahasa Latin ada beberapa kata yang berkaitan. Yakni, sophia (ae), artinya, hikmah atau kebijaksanaan. Lalu ada sophismat (atis), artinya silogisme bohong. Ada lagi kata sophisticus, artinya kaum cerdik-busuk bicaranya atau licik.

Sejarah filsafat Yunani ini menunjukan arti kosa kata dalam bahasa manusia itu bisa berkembang sendiri karena berbagai pengaruh dan ulah manusia yang memakainya.

Bayangkan dari hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan berkembang jadi kosa kata berkonotasi “menipu”.

Ada (sebagian) persamaannya dengan perkembangan kosa kata “dinasti” di Indonesia. Politik dinasti ini merupakan bagian atau satu paket dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam tuntutan mahasiswa dalam gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto tahun 1998.

Seperti di awal tahun 1998 lalu, para penguasa menolak penggunaan istilah “politik dinasti” yang diarahkan terhadap ulah mereka dalam soal penetapan menteri dan para anggota MPR/DPR.

Hal yang sama juga dilakukan oleh mereka yang ada di kalangan penguasa atau pendukung mereka saat ini.

“Kalau disebut dinasti politik, di mananya? Kami kan ikut dalam kontestasi. Di mana aturan hukum yang melarang kami ikut dalam kontestasi? Banyak unsur tidak memenuhi syarat, kami dimasukan dalam sistem dinasti, “demikian beberapa ucapan beladiri atau apologi dari orang-orang yang tidak mau disebut sebagai pengikut generasi politik dinasti.

Namun, ada opini yang mengatakan, “....kemunculan sanak keluarganya dalam percaturan politik Indonesia merupakan rentetan termutakhir dari makin kentalnya nepotisme dalam sirkulasi elite di negeri ini.”

Kalimat ini saya kutip dari rubrik Opini majalah Tempo 15 - 21 Juni 2020, di bawah judul Bahaya Nepotisme Politik”. Nepotisme dalam gerakan reformasi 1998, merupakan bagian dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Dalam opini ini muncul kosa kata “nepotisme”. Dalam bahasa Latin, ada kosa kata, nepos (otis) yang punya beberapa arti, antara lain, cucu lelaki, anak cucu atau keturunan, saudara sepupu dan keponakan.

Kosa kata ini menjadi peyoratis dimulai dalam sejarah kelam kepausan Gereja Katolik Roma (RK). Saat itu munculnya penyebutan nepotisme yang menunjuk pada penunjukan para pejabat kepausan berdasarkan hubungan persaudaraan atau teman akrab.

Sejarah manusia ini punya hukum sendiri dalam pemberian arti dalam kosa kata. Bahasa atau istilah sering berkembang bukan berdasarkan logika tata bahasa, tapi juga ada pengaruh selera pemakainya di tempat dan situasi tertentu.

Bisa saja (ini sebagai contoh dugaan), karena kaum mileneLmunculnya juga ditandai dengan merebaknya pandemi virus corona atau covid-19, maka muncul istilah “generasi milineal corona” atau “milineal covid 19”.

Mudah-mudahan perjalanan sejarah kosa kata politik dinasti tidak berkembang ke arah sangat negatif, misalnya politik dinasti rarti korupsi, menipu atau mencuri. Karena pernah ada pejabat tinggi yang dilahirkan oleh arus reformasi mempersamakan KKN itu sama dengan pencuri. 

https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/01/060000865/politik-dinasti-dan-iklan-mobil

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke