Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Klaim Obat Covid-19 Unair, Berikut Dampaknya Menurut Epidemiolog

Kompas.com - 18/08/2020, 16:20 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Universitas Airlangga (Unair) mengklaim telah menemukan obat Covid-19 dan kini tinggal menunggu izin produksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dilansir Antara, Minggu (16/8/2020), Rektor Unair Prof Mohammad Nasih menjelaskan obat tersebut adalah obat kombinasi.

"Dari lima kombinasi obat penawar Covid-19, hanya tiga yang disarankan karena mempunyai potensi penyembuhan terbesar," ujar Nasih.

Ketiganya adalah kombinasi Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydroxychloroquine dan Azithromycin.

Rencananya besok Rabu (19/8/2020), akan ada pertemuan dengan BPOM untuk menjelaskan berbagai isu seputar obat Covid-19 itu.

Terkait temuan kombinasi obat Covid-19 tersebut, sejumlah ahli meragukan klaim obat yang diteliti oleh Unair bekerjasama dengan TNI AD dan BIN itu. 

Sebab salah satu dampaknya dinilai menjadikan false hope, yaitu ketika masyarakat merasa tenang dan akan mengabaikan protokol kesehatan karena menganggap obat Covid-19 sudah ditemukan.

Baca juga: Epidemiolog Ragukan Klaim Obat Covid-19 dari Unair, TNI-AD dan BIN

Kaidah ilmiah

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, kaidah ilmiah dan etika riset penting diperhatikan agar hal itu tidak terjadi.

"Adanya upaya riset obat atau vaksin berbasis kemampuan nasional tentu harus didukung dan diapresiasi. Namun tanpa mengabaikan kepatuhan terhadap kaidah ilmiah dan etika riset itu sendiri," katanya pada Kompas.com, Selasa (18/8/2020).

Dia mengatakan kepatuhan setiap pusat riset seluruh negara di dunia termasuk di Indonesia terhadap kaidah riset ilmiah dan penyampaian hasil risetnya dalam jurnal ilmiah merupakan hal yang tidak bisa diremehkan dan dikesampingkan.

Menurut peneliti yang terlibat dalam pengendalian beragam pandemi sejak 17 tahun lalu itu mengatakan, dari setiap pandemi mengajarkan bahwa pengabaian sekecil apapun terhadap aspek transparansi hasil riset obat berdampak merugikan dan juga berbahaya.

"Pengalaman pandemi sebelumnya menunjukkan bahwa pengabaian terhadap kaidah tersebut akan menjadi masalah besar, salah satunya pelajaran mahal dari pandemi avian flu dan swine flu dalam proses riset Tamiflu," kata Dicky.

Baca juga: Pengembangan Obat Covid-19 Unair Dinilai Tak Lazim, Ini Masukan Pakar

Dicky terlibat langsung proses diskusi dan negosiasi internasional pada saat terjadinya pandemi tersebut. 

Menurut dia, riset avian flu dan swine flu dalam proses riset Tamiflu tidak transparan sejak awal, tapi tetap dipaksakan jadi obat karena beragam faktor.

Barulah pada 2013 dan 2014 ditemukan banyak efek samping yang fatal, yaitu kematian pada anak dan juga gangguan mental dan neurologis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com