Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plombir dan Cerita Pesepeda yang Panik Saat Razia

Kompas.com - 30/06/2020, 20:03 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Istilah plombir kembali ramai diperbincangkan publik dalam beberapa waktu terakhir.

Bermula dari melonjaknya jumlah pengguna sepeda saat pandemi Covid-19, Kementerian Perhubungan berencana menerapkan pajak bagi sepeda atau dulu dikenal sebagai plombir.

Plombir atau peneng merupakan lempengan logam yang menjadi bukti bahwa sepeda itu telah membayar pajak tahunan.

Pajak sepeda sendiri telah berlaku sejak zaman Belanda. Bahkan, aturan itu semakin ketat selama masa pendudukan Jepang.

Jika saat ini pengendara motor seringkali "dihantui" oleh razia polisi karena tidak membawa surat kelengkapan kendaraan, pesepeda jaman dulu pun merasa was-was apabila belum membayar pajak.

Pasalnya, ada petugas yang melakukan razia di jalanan bagi para pesepada untuk mengetahui status pajak sepeda.

Baca juga: Ramai Dibicarakan, Ini Sejarah Pajak Sepeda di Indonesia

Cerita pesepeda panik terazia plombir

Dicky Kurnia Prasetya, warga Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul menceritakan pengalamannya soal razia peneng atau plombir.

Kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2020), Dicky mengatakan, dia merasa panik ketika pertama kali melihat ada razia plombir.

"Saya SMP itu pertama kali bawa sepeda di jalan raya. Jadi ketika ada cegatan gitu langsung panik. Terus saya pulang lagi ke rumah dan diberitahu bapak kalau itu cegatan plombir," kata Dicky.

Menurut dia, razia plombir tak mesti dilakukan setiap hari. Biasanya petugas Satpol PP melakukan razia di jalan-jalan yang ramai pesepeda.

Sementara itu, para pesepeda yang terjaring razia sebagian besar adalah anak-anak muda.

"Razianya kayaknya acak, bukan setiap hari. Di Jogja biasanya di Jalan Parangtritis, daerah Prawirotaman, terus di dalam Benteng. Kira-kira di jalan yang lalu lintas sepedanya padat," tutur dia.

Baca juga: Pajak Sepeda di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Penjajahan

"Yang terjaring juga cukup banyak, biasanya anak-anak muda. Kalau yang sepuh-sepuh malah sudah tertib, mungkin karena jam terbangnya tinggi, mungkin," sambung dia. 

Bagi sepeda yang belum terpasang plombir, Dicky menyebut pengguna diharuskan untuk membayar Rp 150 (tahun 1993-an) di tempat.

Angka itu merupakan harga yang harus dibayarkan untuk pajak sepeda. Artinya, pengguna akan langsung mendapatkan plombir setelah membayar itu, tanpa ada surat tilang.

"Dulu itu saya ingat Rp 150 perak bayar untuk stiker, jadi kita bayar di tempat terus dapat stiker dipasang di sepeda. Besok kalau ada cegatan lagi ya bablas saja. Tidak ada surat tilang, langsung selesai di tempat," terang dia.

Menurut Dicky, pengguna tidak bisa mengelabui petugas karena plombir yang dipasang selalu beda warna setiapnya tahunnya.

"Dulu warnanya kalo tidak salah ada hijau, ada biru, jadi nanti setiap tahun ganti. Warnanya itu menunjukkan tahun," kata dia.

Baca juga: Kemenhub Bantah Bakal Pungut Pajak Sepeda

Dia menyebut, plombir terakhir kali diberlakukan sekitar 1996 atau 1997.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com