KOMPAS.com - Badan Anggaran DPR RI diketahui telah mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun pada pekan lalu.
Adapun upaya ini digadang-gadang untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, saat pandemi menginfeksi Indonesia pada 2 Maret 2020, sejumlah tindakan pencegahan sudah dilakukan, seperti membeli beberapa bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan makan di tengah pandemi.
Baca juga: CDC Tambahkan 6 Gejala Baru Virus Corona, Apa Saja?
Lantas, apa saja dampak yang terjadi jika Indonesia benar-benar akan melakukan pencetakan uang baru?
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan, ada sejumlah dampak yang terjadi jika pemerintah dan BI mencetak uang baru di saat pandemi.
"Bisa menekan jumlah uang yang beredar, menurunkan nilai uang yang akan mendorong inflasi, dan juga nilai aset akan menjadi turun," ujar Enny saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/5/2020).
Menurutnya, hal yang perlu dipahami oleh masyarakat dari pencetakan uang yakni kelonggaran likuiditas.
Dengan adanya kelonggaran tersebut tidak semerta-merta membuat money press (tekanan nilai uang).
Enny mencontohkan, saat Indonesia melakukan pencetakan uang karena ekonomi negara sedang membutuhkan penambahan uang yang beredar, maka BI akan menambah uang dan bunganya akan diturunkan.
Namun, hal ini akan berdampak pada keengganan masyarakat untuk menabung di bank lantaran bunga yang kecil.
Baca juga: Simak, Ini 10 Cara Pencegahan agar Terhindar dari Virus Corona
Penurunan nilai uang
Sementara itu, jika cetak uang dalam arti menambah kredibilitas, misalnya pemerintah meningkatkan defisit anggaran atau perlu cetak uang sebanyak Rp 600 triliun, maka akan berdampak pada penurunan nilai uang.
"Artinya yang terjadi jumlah output dengan jumlah uang yang beredar itu tidak sama, lebih banyak uang yang beredar, maka nilai uang akan turun," ujar Enny.
Jika nilai uang mengalami penurunan otomatis akan mendorong adanya inflasi.
Tetapi, jika jumlah pencetakan uang mencapai nominal yang sangat tinggi, bisa juga memicu adanya hyperinflasi di mana Indonesia sempat mengalami pada masa Orde Lama.