KOMPAS.com - Pabrik tahu Indonesia yang menggunakan plastik sebagai bahan bakar menjadi sorotan media AS, New York Times.
Melansir pemberitaaan New York Times, Kamis (14/11/2019), lebih dari 30 perusahaan tahu menggunakan campuran plastik dan kertas sebagai bahan bakar.
Asap dan abu dari plastik yang terbakar menimbulkan konsekuensi racun.
Termasuk di dalamnya adalah dioxin.
Dioksin adalah polutan yang dikenal dapat menyebabkan penyakit kanker, Parkinson, hingga cacat saat lahir.
Menanggapi hal ini, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Saung mengatakan, tidak ada cara lain selain menghentikan sumber polutan.
Baca juga: Pembakaran Plastik oleh Pabrik Tahu Timbulkan Polutan Dioxin, Apa Itu dan Seberapa Bahaya?
"Selama masih dilakukan pembakaran plastik untuk pengolahan tahu, maka upaya lain percuma," ucap Dwi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/11/2019).
Setelah menghentikan sumper polutan, Dwi mengatakan, langkah lanjutan yang seharusnya dilakukan adalah pemulihan.
Akan tetapi, pemulihan tersebut terbilang sulit dan memerlukan biaya mahal.
Pada April 2019, misalnya, USAID dan Komando Angkatan Udara Pertahanan Udara Vietnam (ADAFC) meluncurkan proyek remediasi dioksin di Bien Hoa Airbase.
Proyek tersebut diperkirakan menelan biaya sekitar 390 juta dollar AS atau Rp 5,4 trilliun.
Media asal AS tersebut juga menuliskan, penggunaan plastik pada lebih dari 30 perusahaan tahu Indonesia karena faktor harga yang murah. Bahkan, harga bahan bakar plastik sepersepuluh dari kayu bakar.
Dwi mengatakan, ada banyak bahan bakar ramah lingkungan dengan harga ekonomis.
"Ada banyak alternatif bahan bakar murah, seperti biogas dari ampas tahu, gas biasa, limbah kayu," tambah Dwi.
Baca juga: Media AS New York Times Soroti Pabrik Tahu di Indonesia yang Gunakan Plastik sebagai Bahan Bakar
Menurut Dwi, penggunaan plastik sebagai bahan bakar ini terjadi karena adanya dumping sampah plastik dari negara maju.