Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fikrul Hanif Sufyan
Dosen

Penulis dan Pengajar Sejarah

Membungkam Suara Protes Lewat Kamp Digoel

Kompas.com - 12/05/2024, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASCA-meledaknya peristiwa 1926 di Banten dan Silungkang (1927) Sumatra Barat, berdampak besar terhadap tokoh dan massa yang ikut terlibat.

Aksi pencidukan terhadap tokoh garis keras dalam gerakan Komunis sebelum tahun 1926, rupanya tidak membuat massa pendukungnya jera, malah makin radikal.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff membangun kamp konsentrasi yang terletak jauh di pedalaman Papua, Boven Digoel.

Boven Digoel bukanlah kamp tahanan narapidana, sebagaimana sel tangsi yang dibangun pemerintah untuk ‘pesakitan’.

Pembuangan elite politik kiri, bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum, melainkan tindakan administratif yang bersumber dari hak istimewa exorbitant rechten Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Beschikking atau pengasingan merupakan praktik yang telah lama berlangsung di koloni Hindia Belanda.

Boven Digoel tidak sama dengan kamp konsentrasi seperti di Jerman. Menurut sejarawan Pluvier, Digoel memang berbeda dengan kamp Nazi, mulai dari perlakuan terhadap para penghuninya.

Selama hidup di Digoel, tidak seorang pun tahanan disiksa seperti di kamp Jerman. Meski demikian, pemerintah Hindia Belanda, melakukan pembiaran sampai penghuninya mati tersiksa, karena buasnya alam.

Elite pergerakan, terutama Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin memahami tujuan mereka diasingkan ke Digoel.

Meskipun terbilang kamp konsentrasi, akses informasi mengenai Digoel tidak dibatasi pemerintah. Sehingga setiap pengiriman dan pembebasan tahanan Digoel diberitakan di koran-koran Melayu, seringkali diikuti dengan penerbitan surat-surat tahanan, serta kontak antara si tahanan dengan keluarga mereka.

Pemerintah de Graeff sengaja membuka akses informasi itu, agar rakyat jajahan tahu, Digoel berfungsi membungkam suara-suara protes. Ketakutan politisi terhadap Digoel rupanya pernah menghinggapi Soekarno.

Soekarno dibayangi kegalauan, ketika dibuang ke Digoel. Ia berpikir harus jauh dari ibunya dan terpisah dari istri.

Sehingga ketika ditahan di Sukamiskin tahun 1933, ia meminta ampun pada pemerintah. Ia pun berjanji, menghentikan seluruh aktivitas politik-nya dan bila perlu bekerja sama dengan pemerintah.

Berdirinya Kamp Digoel

Proses berdirinya kamp pengasingan massal, bermula dari pertemuan Dewan Hindia Belanda dengan de Graeff pada 18 November 1926, atau beberapa hari pascapemberontakan komunis di Banten pada 12 November 1926.

Dalam pertemuan itu, Gubernur Jenderal de Graeff mengajukan sejumlah pertanyaan, di antaranya:

Bilakah sejumlah tindakan harus diambil untuk memerangi meningkatnya gerakan komunis yang berlangsung seminggu terakhir dan untuk mencegah (pengulangan mereka) di masa datang sebisa mungkin. Jika ya, tindakan-tindakan seperti apa?

Sebelum pertemuan itu dilaksanakan, de Graeff ingin membuang tokoh-tokoh komunis yang berbahaya secepat mungkin, demi ketentraman pemerintah Hindia Belanda.

Di samping itu, ia meminta jaksa Duyfjes tanggal 17 November 1926, untuk menginstruksikan kepala administrasi wilayah di Jawa dan Sumatera mematuhi keputusan itu.

Dalam pandangan de Graeff, penahanan hanya tindakan sementara, karena setelah usai penyelidikan sebagian besar tahanan harus dibebaskan, karena tidak cukup bukti. Setelah itu, mereka tentu memulai aktivitasnya kembali.

Mendengar usulan de Graeff, anggota Dewan setuju hukuman buang dimulai dari mereka yang terlibat peristiwa 1926-1927.

Namun, anggota Ruud van Nederlandsch Indie menggarisbawahi, harus ada rancangan keputusan dan dibatasi pada delapan kategori, yakni orang yang diasingkan adalah anggota PKI, partai yang mengikuti Internasional Ketiga (Third International), dan bermaksud menggulingkan dan membentuk pemerintahan baru; PKI membentuk organisasi ilegal bertujuan merekrut massa yang banyak, melakukan tindakan kriminal, merampas milik para pejabat dan membahayakan keselamatan rakyat.

Dua hari kemudian, tanggal 19 November 1926, Duyfjes mengirim telegram pada kepala administrasi di setiap daerah, untuk menginformasikan hal-hal berkaitan dengan kerusuhan di Banten.

Pemerintah Hindia Belanda mempertimbangkan hukuman buang dalam skala besar, terhadap pemimpin komunis yang bisa mengancam tatanan (rust en orde).

Memang terjadi perubahan redaksi dari putusan sebelumnya, yakni orang yang diasingkan adalah pemimpin komunis yang bisa mengancam rust en orde.

Duyfjes mengambil simpulan, gerakan sporadis di Banten dan Silungkang berpijak pada gagasan dasar. Gagasan ini diformulasikan Tan Malaka dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

Tan Malaka secara tidak langsung membimbing dan memberi inspirasi bagi tindakan-tindakan tokoh komunis. Berdasarkan analisisnya, Duyfjes menyampaikan argumentasinya tanggal 22 November 1926.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com