Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membungkam Suara Protes Lewat Kamp Digoel

Aksi pencidukan terhadap tokoh garis keras dalam gerakan Komunis sebelum tahun 1926, rupanya tidak membuat massa pendukungnya jera, malah makin radikal.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff membangun kamp konsentrasi yang terletak jauh di pedalaman Papua, Boven Digoel.

Boven Digoel bukanlah kamp tahanan narapidana, sebagaimana sel tangsi yang dibangun pemerintah untuk ‘pesakitan’.

Pembuangan elite politik kiri, bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum, melainkan tindakan administratif yang bersumber dari hak istimewa exorbitant rechten Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Beschikking atau pengasingan merupakan praktik yang telah lama berlangsung di koloni Hindia Belanda.

Boven Digoel tidak sama dengan kamp konsentrasi seperti di Jerman. Menurut sejarawan Pluvier, Digoel memang berbeda dengan kamp Nazi, mulai dari perlakuan terhadap para penghuninya.

Selama hidup di Digoel, tidak seorang pun tahanan disiksa seperti di kamp Jerman. Meski demikian, pemerintah Hindia Belanda, melakukan pembiaran sampai penghuninya mati tersiksa, karena buasnya alam.

Elite pergerakan, terutama Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin memahami tujuan mereka diasingkan ke Digoel.

Meskipun terbilang kamp konsentrasi, akses informasi mengenai Digoel tidak dibatasi pemerintah. Sehingga setiap pengiriman dan pembebasan tahanan Digoel diberitakan di koran-koran Melayu, seringkali diikuti dengan penerbitan surat-surat tahanan, serta kontak antara si tahanan dengan keluarga mereka.

Pemerintah de Graeff sengaja membuka akses informasi itu, agar rakyat jajahan tahu, Digoel berfungsi membungkam suara-suara protes. Ketakutan politisi terhadap Digoel rupanya pernah menghinggapi Soekarno.

Soekarno dibayangi kegalauan, ketika dibuang ke Digoel. Ia berpikir harus jauh dari ibunya dan terpisah dari istri.

Sehingga ketika ditahan di Sukamiskin tahun 1933, ia meminta ampun pada pemerintah. Ia pun berjanji, menghentikan seluruh aktivitas politik-nya dan bila perlu bekerja sama dengan pemerintah.

Berdirinya Kamp Digoel

Proses berdirinya kamp pengasingan massal, bermula dari pertemuan Dewan Hindia Belanda dengan de Graeff pada 18 November 1926, atau beberapa hari pascapemberontakan komunis di Banten pada 12 November 1926.

Dalam pertemuan itu, Gubernur Jenderal de Graeff mengajukan sejumlah pertanyaan, di antaranya:

Bilakah sejumlah tindakan harus diambil untuk memerangi meningkatnya gerakan komunis yang berlangsung seminggu terakhir dan untuk mencegah (pengulangan mereka) di masa datang sebisa mungkin. Jika ya, tindakan-tindakan seperti apa?

Sebelum pertemuan itu dilaksanakan, de Graeff ingin membuang tokoh-tokoh komunis yang berbahaya secepat mungkin, demi ketentraman pemerintah Hindia Belanda.

Di samping itu, ia meminta jaksa Duyfjes tanggal 17 November 1926, untuk menginstruksikan kepala administrasi wilayah di Jawa dan Sumatera mematuhi keputusan itu.

Dalam pandangan de Graeff, penahanan hanya tindakan sementara, karena setelah usai penyelidikan sebagian besar tahanan harus dibebaskan, karena tidak cukup bukti. Setelah itu, mereka tentu memulai aktivitasnya kembali.

Mendengar usulan de Graeff, anggota Dewan setuju hukuman buang dimulai dari mereka yang terlibat peristiwa 1926-1927.

Namun, anggota Ruud van Nederlandsch Indie menggarisbawahi, harus ada rancangan keputusan dan dibatasi pada delapan kategori, yakni orang yang diasingkan adalah anggota PKI, partai yang mengikuti Internasional Ketiga (Third International), dan bermaksud menggulingkan dan membentuk pemerintahan baru; PKI membentuk organisasi ilegal bertujuan merekrut massa yang banyak, melakukan tindakan kriminal, merampas milik para pejabat dan membahayakan keselamatan rakyat.

Dua hari kemudian, tanggal 19 November 1926, Duyfjes mengirim telegram pada kepala administrasi di setiap daerah, untuk menginformasikan hal-hal berkaitan dengan kerusuhan di Banten.

Pemerintah Hindia Belanda mempertimbangkan hukuman buang dalam skala besar, terhadap pemimpin komunis yang bisa mengancam tatanan (rust en orde).

Memang terjadi perubahan redaksi dari putusan sebelumnya, yakni orang yang diasingkan adalah pemimpin komunis yang bisa mengancam rust en orde.

Duyfjes mengambil simpulan, gerakan sporadis di Banten dan Silungkang berpijak pada gagasan dasar. Gagasan ini diformulasikan Tan Malaka dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

Tan Malaka secara tidak langsung membimbing dan memberi inspirasi bagi tindakan-tindakan tokoh komunis. Berdasarkan analisisnya, Duyfjes menyampaikan argumentasinya tanggal 22 November 1926.

Ia menganjurkan de Graeff menggunaan kekuasaan luar biasanya terhadap para pengikut dan hoofd-leiders PKI, Sarekat Rakyat, dan Sarekat Buruh. Permintaaan ini diajukan untuk mencegah terulangnya pemberontakan di daerah.

Setelah permintaannya direspons, Duyfjes dalam surat edarannya tertanggal 13 Desember 1926, menyampaikan pemerintah daerah diberi kuasa menekan kelompok propaganda baru.

Artinya, seorang Residen diberi kuasa untuk mengidentifikasi pemimpin komunis atau propagandis yang bisa diasingkan.

Boven Digoel sebagai pembuangan aktivis pergerakan, dideskripsikan Wakil Gubernur Maluku J Roest sebagai wilayah gersang tidak berpenghuni, berbahaya, terisolasi, berpenduduk sangat jarang, dengan rute masuk terbatas.

Digoel diidentifikasi sebagai tempat yang ideal bagi kamp pembuangan massal terisolasi sepenuhnya dari rakyat Hindia Belanda.

Tanggal 10 Desember 1926, melalui sebuah dekrit, kawasan ini dijadikan pemerintahan onderafdeeling Boven Digoel dengan Tanah Merah sebagai pusat pemerintahannya.

Setelah pemerintahan terbentuk di Tanah Merah, Kapten L. Th. Becking, komandan pembasmi gerakan PKI di Banten dikirim ke Digoel.

Becking tidak sendirian di Tanah Merah, ia mengikutsertakan pasukannya yang umumnya berasal dari Ambon, membangun kamp sebelum 27 Maret 1927.

De Graeff menyadari hukuman buang ke Digoel bisa menimbulkan derita keluarga tokoh komunis. Karena itu, de Graeff menyetujui ide Wakil Gubernur Maluku tentang perlunya membangun tatanan pemerintahan khusus di Digoel.

Pandangan de Graeff ini sama dengan ide Schrieke, yang mengimpikan proyek humanis untuk menekan radikalisme kelompok propagandis Komunis.

Secara politis, keputusan membuang tokoh-tokoh komunis tentunya mengurangi kecemasan pemerintah, dimana pergerakan mereka mudah diawasi negara.

Catatan Chalid Salim dan dan Schoonheyt untuk Kondisi Kamp Konsentrasi Digoel
Tanah Merah sebagai pusat pemerintahan dan kawasan utama pembuangan ber-lokasi 455 kilometer ke arah hulu Sungai Digoel.

Tanah Merah berada di tengah hutan belantara yang buas. Kamp konsentrasi kedua adalah Tanah Tinggi yang terisolasi dari Tanah Merah, atau berlokasi 55 kilometer dari Tanah Merah.

Kedua kawasan ini merupakan sarang nyamuk malaria, panas, gersang, dan jarang penduduknya.

Pada Maret 1926, dua orang tahanan sudah dimangsa buaya ketika sedang mandi, satu di antaranya Mangoenatmodjo.

Ada hal yang unik dari kamp kosentrasi yang tidak dilengapi kawat kawat berduri. Kawat berduri hanya bisa dijumpai di rumah serdadu dan keluarga mereka.

Para tahanan dibiarkan berkeliaran dan menetap di kawasan radius 25 kilometer dari kamp tahanan. Namun mereka tidak bisa pergi sejauh mungkin, karena posisi kamp berada di kepung hutan belantara.

Tanah Merah terdiri tiga kawasan berbeda yang dipisahkan sungai-sungai kecil, di mana wilayah administratif (bestuursterrein) mencakup kediaman para pejabat sipil, kamp militer dan kamp pembuangan.

Kisah Digoel yang dinarasikan pernah ditulis oleh Schoonheyt dan Chalid Salim sejak Juli 1927-1943.

Schoonheyt dan Chalid hampir mengetahui setiap sudut Digoel karena sering berkeliling di kawasan itu. Dalam memoarnya, ia menulis perjalanan dari dermaga mencari tempat pembiakan nyamuk anopheles.

Schoonheyt mendeskripsikan sepanjang sungai, di sisi kanan, terdapat bangunan memanjang untuk staf bagian perawatan perahu motor, dan beberapa rumah batu bagi para pegawai sipil rendahan dan staf polisi. Seluruh rumah dikelilingi taman-taman berukuran kecil yang terawat rapi di sisi kiri.

Selain rumah dinas, juga terdapat rumah penginapan. Di sebelah kiri rumah penginapan, menurut Chalid terdapat lapangan tenis bagi sipil dan tentara yang terawat memanjang di sisi lintasan sungai.

Di taman ini berdiri rumah tinggal besar dan megah milik kepala pemerintahan asisten residen tahun 1930-an, dan di sebelahnya ada rumah yang lebih sederhana dihuni seorang komandan militer garnisun berpangkat kapten.

Di sebelah kanan rumah penginapan terdapat jalan lebar berbatu, dan di sepanjang jalan itu ada stasiun pembangkit listrik, kantor pos, penjara sipil, dan gereja Katholik dengan pusat misinya.

Tahanan politik yang moderat, menurut Chalid, umumnya bekerja di pusat stasiun pembangkit listrik dan kantor telepon.

Akhir tahun 1930-an, Chalid sudah bekerja pada dinas pengendali malaria. Setiap hari ia menyaksikan satu atau dua orang agen polisi bertugas menjaga penjara, duduk di tikar dan bermain kartu Ceki dengan para napi.

Yang unik, semua pintu sel penjara dibiarkan terbuka lebar dan seorang polisi lainnya tidur pulas. Tidak beberapa lama, penjaga memperingatkan semua orang, bahwa seorang perwira datang untuk memeriksa.

Berjalan menuju arah utara dari persimpangan rumah penginapan dan stasiun tenaga listrik, pandangan Schoonheyt tertuju pada toko kelontong Cina milik Tan Toey.

Ia memperoleh ijin dari pemerintah Digoel untuk membuka dua buah toko, masing-masing di wilayah administratif dan kamp pembuangan.

Tan Toey tentu saja memperoleh laba besar dari monopoli perdagangan di Digoel, karena belum punya saingan dagang.

Setelah Tan Toey meninggalkan Ambon, pemerintah mengundang dua pedagang Cina untuk membuka toko di sana. Tan Tjo salah seorang pedagang yang mewarisi toko Tan Toey, kemudian membuka sebuah restoran modern.

Sebelah utara gedung administrasi, berdiri bangunan gereja Protestan di tengah padang rumput. Di depan gereja, terdapat jalan berbatu berbelok ke arah timur, terdapat kediaman dokter di Digoel berdekatan dengan rumah-rumah pejabat sipil dan perwira polisi.

Lebih jauh, arah pedalaman terdapat ladang buatan untuk menanam padi. Proyek sawah itu kontan gagal, beberapa tahun terakhir para tahanan menanam sayur-sayuran dan tanaman lainnya. Sehingga pada tahun 1930-an, interniran Digoel bisa berswasembada sayuran.

Jalan berbatu selanjutnya menuju pada tanah lapang luas, mulanya dibuka bagi penerbangan udara tahun 1937.

Pada tahun 1937, perusahaan tambang Nederlandsch Nieuw Guinea, atau biasa disebut Goldmine, masuk ke Digoel untuk menambang emas.

Masuknya perusahaan tambang emas ini mengubah wajah Tanah Merah yang sebelumnya sepi, menjadi ramai.

Pada awalnya transportasi melayani ke Tanah Merah adalah kapal putih dan kapal polisi. Pascahadirnya Goldmine banyak kapal asing yang membawa material dengan jumlah yang besar diturunkan di dermaga.

Perusahaan Goldmine mendirikan kantor pos, stasiun radio, dan pemukiman yang dihuni sekitar 230 orang, yang terdiri atas para perwira Belanda, pekerja Jawa, dan pendulang emas Dayak.

Namun eksplorasi emas di Tanah Merah tidak berjalan mulus. Pada 1939, dalam dua tahun operasionalnya, Goldmine memutuskan keluar dari Tanah Merah.

Sebagian besar bangunan dibongkar kembali dan materialnya dibawa pergi. Bandar udara yang sebelumnya sibuk, berubah menjadi padang rumput yang sepi dari aktivitas penerbangan.

Jumlah penghuni di wilayah itu kembali menjadi 120 orang, meskipun orang asli Papua sering lalu lalang ke Tanah Merah, namun mereka tidak pernah menetap di sana.

Menuju ujung utara melewati jembatan kecil untuk mencapai kamp militer dan kamp pembuangan. Kamp militer berada di lokasi strategis yang terletak di antara wilayah administratif dan kamp interniran.

Seorang tahanan yang pergi ke wilayah administratif, harus menunjukkan surat ijin pada serdadu di pintu masuk kamp militer.

Seluruh kamp militer, dikelilingi kawat berduri dan dijaga menara pengawas pada setiap sudutnya. Seperti ditulis Chalid, bahwa kamp militer lebih dari kamp pembuangan, tampak seperti kamp konsentrasi.

Dalam kamp militer terdapat barak-barak, kantor komandan garnisun, bangsal, gudang amunisi, stasiun radio, penjara, kantin, asrama perempuan, dapur umum, dan lapangan olahraga.

Fasilitas-fasilitas kamp dibangun tahun 1927, terdiri dari kayu dan alang-alang. Tahun 1934 Gubernur de Jonge mengubah wajah kamp menjadi semi-permanen.

Perubahan kondisi kamp militer pada era 1930-an bertepatan dengan masa krisis ekonomi dunia. Sehingga de Jonge memotong anggaran belanja pemerintah di berbagai sektor untuk perubahan dan renovasi kamp militer menjadi semi-permanen.

Garnisun militer Digoel, terdiri dari tujuh peleton infantri, setiap peleton terdiri 16 hingga 20 personel di bawah komando seorang tentara Eropa atau pribumi berpangkat sersan.

Misi mereka saat itu adalah menjaga keamanan di Tanah Merah, melakukan tugas penjagaan dengan sistem shift di Tanah Tinggi, dan berpatroli ke seluruh Digoel. Seperti di tempat lain di Hindia Belanda, keluarga para tentara juga tinggal di kamp.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/12/101036979/membungkam-suara-protes-lewat-kamp-digoel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke