BULAN Februari 2024, komedian Komeng mendadak viral menjadi calon anggota DPD. Berbeda dengan calon lain, Komeng tidak berjanji menyejahterakan, namun membahagiakan. Harapannya sederhana, membawa aspirasi penetapan hari komedi.
Sementara, jauh 11 tahun sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Bisa jadi memiliki simpul yang berirama, hidup perlu komedi untuk bahagia.
Menjadi pertanyaan besar, apakah penduduk Indonesia sudah Bahagia? Lingkungan seperti apa yang bisa mendukung seseorang healing dari tekanan mental untuk peningkatan kebahagiaan?
Sejak 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survei pengukuran tingkat kebahagiaan, yaitu tahap studi tahun 2014 serta survei tahun 2017 dan 2021.
Pendekatannya, subjektif atau subjective wellbeing yang terukur dalam tiga dimensi, yakni kepuasan, afeksi (perasaan), dan eudaimonia (makna hidup), dan memiliki 19 indikator. Total sampel sebesar 75.000 rumah tangga.
Hasilnya, Indeks Kebahagiaan 2021 meningkat 0,8 poin, dari 70,69 menjadi 71,49 dari skala 0-100. Meskipun tidak ada pengkategorian jenis kebahagiaan, kita dapat menyebut rata-rata penduduk memiliki tingkat kebahagiaan sedang, karena jika nilainya dibagi 4 dengan rentang sama, maka masuk interval 50-75.
Kepuasan tertinggi pada subdimensi kepuasan hidup sosial. Capaian masing-masing mulai dari kepuasan personal sebesar 70,26, kepuasan sosial sebesar 80,07, afeksi (perasaan) sebesar 65,61, dan eudaimonia (makna hidup) sebesar 73,12.
Sementara, jika dilihat indikator personal, kepuasan terhadap pendapatan menjadi nomor dua terendah dari indikator lainnya.
Kemudian kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan sebesar 62,79, kepuasan terhadap pekerjaan/usaha/kegiatan utama sebesar 72,37, kepuasan terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 66,76, kepuasan terhadap kesehatan sebesar 76,28, kepuasan terhadap rumah dan fasilitasnya sebesar 73,64.
Sayangnya, indikator perasaan sebagai dimensi paling rendah, terkait kekhawatiran masyarakat pada kehidupannya. Nilainya cukup rendah hanya 57,91.
Ukuran kebahagiaan dapat digunakan sebagai pelengkap indikator makro hasil pembangunan. Karena, meskipun secara objektif ada peningkatan kekayaan, aset, dengan segala kemewahan hidup, ternyata ada penduduk yang justru mengalami tekanan hidup. Bahkan ada yang bunuh diri.
Kasus tekanan mental, stres, bahkan bunuh diri kerap kali muncul di beranda berita. Bahkan, belum usai pemilu, rumah sakit jiwa telah bersiap diri menampung tim sukses dan calon legislatif yang ingin berkonsultasi.
Sementara, bagi warga pemicu tekanan mental tidak sedikit, mulai dari beban pekerjaan, kabar kematian orang terdekat, kekerasan, perang maupun kriminalitas, hingga soal kegagalan percintaan.
Sederhananya di lingkup terkecil, keharmonisan keluarga akan berubah menjadi tekanan jika terjadi perceraian. Tak sedikit orang stres karena gagal membangun keluarga. Bahkan, pemerintah memiliki data proses perceraian di pengadilan agama.
Sebagai gambaran dari hasil Sensus Penduduk 2020, data jumlah penduduk dengan status cerai hidup mencapai 2.735.590 penduduk. Bukan angka kecil untuk menghantui keharmonisan keluarga.