Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Komeng dan Refleksi Kebahagiaan

Sementara, jauh 11 tahun sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional. Bisa jadi memiliki simpul yang berirama, hidup perlu komedi untuk bahagia.

Menjadi pertanyaan besar, apakah penduduk Indonesia sudah Bahagia? Lingkungan seperti apa yang bisa mendukung seseorang healing dari tekanan mental untuk peningkatan kebahagiaan?

Statistik kebahagiaan

Sejak 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survei pengukuran tingkat kebahagiaan, yaitu tahap studi tahun 2014 serta survei tahun 2017 dan 2021.

Pendekatannya, subjektif atau subjective wellbeing yang terukur dalam tiga dimensi, yakni kepuasan, afeksi (perasaan), dan eudaimonia (makna hidup), dan memiliki 19 indikator. Total sampel sebesar 75.000 rumah tangga.

Hasilnya, Indeks Kebahagiaan 2021 meningkat 0,8 poin, dari 70,69 menjadi 71,49 dari skala 0-100. Meskipun tidak ada pengkategorian jenis kebahagiaan, kita dapat menyebut rata-rata penduduk memiliki tingkat kebahagiaan sedang, karena jika nilainya dibagi 4 dengan rentang sama, maka masuk interval 50-75.

Kepuasan tertinggi pada subdimensi kepuasan hidup sosial. Capaian masing-masing mulai dari kepuasan personal sebesar 70,26, kepuasan sosial sebesar 80,07, afeksi (perasaan) sebesar 65,61, dan eudaimonia (makna hidup) sebesar 73,12.

Sementara, jika dilihat indikator personal, kepuasan terhadap pendapatan menjadi nomor dua terendah dari indikator lainnya.

Kemudian kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan sebesar 62,79, kepuasan terhadap pekerjaan/usaha/kegiatan utama sebesar 72,37, kepuasan terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 66,76, kepuasan terhadap kesehatan sebesar 76,28, kepuasan terhadap rumah dan fasilitasnya sebesar 73,64.

Sayangnya, indikator perasaan sebagai dimensi paling rendah, terkait kekhawatiran masyarakat pada kehidupannya. Nilainya cukup rendah hanya 57,91.

Ukuran kebahagiaan dapat digunakan sebagai pelengkap indikator makro hasil pembangunan. Karena, meskipun secara objektif ada peningkatan kekayaan, aset, dengan segala kemewahan hidup, ternyata ada penduduk yang justru mengalami tekanan hidup. Bahkan ada yang bunuh diri.

Tantangan

Kasus tekanan mental, stres, bahkan bunuh diri kerap kali muncul di beranda berita. Bahkan, belum usai pemilu, rumah sakit jiwa telah bersiap diri menampung tim sukses dan calon legislatif yang ingin berkonsultasi.

Sementara, bagi warga pemicu tekanan mental tidak sedikit, mulai dari beban pekerjaan, kabar kematian orang terdekat, kekerasan, perang maupun kriminalitas, hingga soal kegagalan percintaan.

Sederhananya di lingkup terkecil, keharmonisan keluarga akan berubah menjadi tekanan jika terjadi perceraian. Tak sedikit orang stres karena gagal membangun keluarga. Bahkan, pemerintah memiliki data proses perceraian di pengadilan agama.

Sebagai gambaran dari hasil Sensus Penduduk 2020, data jumlah penduduk dengan status cerai hidup mencapai 2.735.590 penduduk. Bukan angka kecil untuk menghantui keharmonisan keluarga.

Lebih luas lagi, banyak kejadian bunuh diri akibat tekanan mental yang tak tertanggulangi. Dari data Potensi Desa (Podes) 2021, bisa ditunjukkan sebanyak 3.058 desa/kelurahan ada kejadian bunuh diri.

Dari hasil pembangunan, turunnya angka kemiskinan dan pengangguran, berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Sehingga upaya perlindungan sosial juga perlu dilakukan penyesuaian. Karena, kelompok menengah perlu perlindungan berbeda.

Refleksinya, terpilihnya Komeng sebagai anggota DPD, sebagai mediator komedi untuk menghibur diri dalam menghadapi tekanan mental yang bertubi-tubi pada kelompok menengah baru.

Seperti beban kerja yang tak diiringi peningkatan pendapatan, bahkan tergerus inflasi.

Meningkatnya beban pengeluaran akibat tingginya bahan makanan pokok yang dikonsumsi.
Dampaknya, kecemasan, kekhawatiran, dan perasaan tertekan hingga berujung pada depresi yang meningkatkan gangguan kesehatan mental sejak masa pandemi di tengah ketidakpastian ekonomi.

Meski demikian, bukan berarti wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi warganya tidak bahagia. Terbukti di Maluku, papua, Gorontalo memiliki kemiskinan tinggi, tetapi kebahagiaan tinggi.

Ada juga, wilayah dengan pengangguran tinggi, namun warganya memiliki kebahagiaan yang tinggi, seperti di Provinsi Riau, Sulawesi Utara, Maluku.

Hal ini memungkinkan terjadi, jika pemerintah mampu memberikan lingkungan tempat tinggal yang menyenangkan kehidupan masyarakat yang menopang kebahagiaannya.

Seperti kata Komeng, kalau memang belum bisa menjanjikan kesejahteraan, paling tidak bisa membahagiakan.

Pemerintah dapat memperbanyak tempat untuk “Healing”, atau lingkungan tempat tinggal yang mampu menurunkan tingkat stres untuk sejenak melupakan beban hidup mulai dari komunitas terendah, desa/kelurahan.

Sebagai gambaran dari data Potensi Desa (Podes) 2021, telah banyak desa yang memiliki tempat untuk menjaga kewarasan.

Seperti di 8.342 desa/kelurahan ada tempat wisata, ada juga 30,15 persen atau 25.356 desa/kelurahan yang memiliki ruang publik terbuka, termasuk 10,23 persen atau 8.602 desa/kelurahan memiliki pusat kebugaran.

Sementara, jika kebahagiaannya dari olah raga, maka telah ada 47.863 desa/kelurahan memiliki lapangan sepakbola, 60.167 desa/kelurahan memiliki lapangan bola voli, 36.157 desa kelurahan memiliki lapangan bulu tangkis. Semua siap dimanfaatkan untuk menjaga kebugaran fisik dan pikiran.

Bagi generasi sekarang, kesenangannya dari game online, juga telah ditopang oleh keterjangkauan internet di pelosok negeri. Kekuatan sinyal telepon seluler dan sinyal internet di desa/kelurahan 18,22 persen desa/kelurahan sangat kuat, 54,71 persen desa/kelurahan sinyal kuat.

Kebahagiaan telah diukur di berbagai negara. Bahkan, pada Publikasi World Happiness Report 2023 menunjukkan Indonesia ranking 84 dari 137 negara.

Posisi Indonesia di bawah Afrika Selatan dan jauh di bawah negeri Jiran yang mendapat ranking 55. Sementara, di Bhutan telah lama menggunakan Gross National Happiness (GNH) sebagai ukuran pembangunan.

Selain itu, sebagai mitra strategis Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Indonesia sudah selayaknya menempatkan ukuran kesejahteraan subjektif.

Di negara OECD, mereka menggunakan 11 indikator subjektif yang tergabung dalam better life index dan sudah tersedia di Indeks Kebahagiaan Indonesia saat ini.

Sekarang, Komeng menjadi refleksi nyata akan kebutuhan kebahagiaan sebagai pelengkap ukuran makro hasil pembangunan. Bukankah tujuan kebijakan pemerintah ujungnya adalah membahagiakan rakyatnya?

https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/26/135133279/komeng-dan-refleksi-kebahagiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke