KOMPAS.com - Prasasti sebagai pertanda wilayah jajahan Portugis dinamakan Padrao.
Selama abad ke-15 dan ke-16, para penjelajah Portugis yang melayari samudra biasanya membawa Padrao.
Ketika singgah di wilayah baru, mereka biasanya meninggalkan Padrao sebagai tanda bahwa wilayah tersebut telah diklaim oleh Portugis.
Di Indonesia, Padrao secara spesifik dipakai untuk menyebut pilar batu yang digunakan sebagai pelengkap perjanjian antara Raja Sunda dengan bangsa Portugis.
Baca juga: Penjelajahan Samudra oleh Portugis: Latar Belakang dan Kronologi
Pada awalnya, Padrao berupa tiang atau salib dari kayu yang sangat sederhana.
Namun, karena kayu cepat rusak akibat cuaca, bangsa Portugis akhirnya memilih membuat Padrao dari batu yang dibentuk seperti pilar, yang di atasnya diberi salib dan lambang kerajaan.
Fungsi dari batu Padrao bagi Portugis adalah menjadi tanda superioritasnya dari bangsa Eropa lainnya.
Selain itu, penempatan Padrao berarti tempat tersebut telah diklaim sebagai milik bangsa Portugis.
Diogo Cao tercatat sebagai orang pertama yang menempatkan Padrao dalam perjalanannya di sepanjang pantai Afrika pada 1482-1484.
Padrao biasanya dibuat di Portugal dan dibawa bersama para penjelajah atas perintah Raja Joao II.
Jejak Padrao yang ditancapkan Diogo Cao dapat ditemukan di Gabon, Angola, dan Namibia.
Baca juga: Sejarah Benteng Barnaveld, Didirikan Portugis Lalu Direnovasi Belanda
Pada 1498, Vasco da Gama mendirikan Padrao di Malindi di Afrika Timur, sebelum bertolak ke India.
Beberapa penjelajah terkenal lainnya yang pernah meninggalkan Padrao di antaranya, Bartolomeu Dias, Goncalo Coelho, Pero da Covilha, dan Jorge Alvares.
Pada 1488, Bartolomeu Dias meninggalkan Padrao di Kwaaihoek, sebagai penanda lokasi pendaratannya yang paling timur.
Sayangnya, Padrao tersebut telah hancur dan kini hanya tersisa replikanya saja.