SELAIN Mahabharata yang ditulis oleh Wiyasa dan Ramayana ditulis oleh Walmiki, saya sangat mengagumi Arthashastra sebagai warisan peradaban sastra India ditulis oleh Kautakya alias Chanakya sebagai perdana menteri Chandragupta pendiri dinasti Maurya pada abad IV sebelum Masehi.
Menurut pendapat saya, Arthashastra-nya Kautakya sebagai risalah filsafat kepemimpinan layak disetarakan dengan Il Principe-nya Macchiavelli, Leviathan-nya Hobbes, Hasta Brata-nya Wahyu Makutarama maupun Analek-nya Konfusius bersentuhan dengan administrasi negara.
Sejauh ini Arthashastra dijunjung tinggi sebagai pedoman kehidupan duniawi umat manusia yang fokus pada Das Sollen tata negara yang wajib dilakukan oleh penguasa mengingat sifat manusia yang ambivalen ibarat pedang bermata dua, maka bisa ekstrem baik sekaligus juga rawan ekstrem buruk.
Di dalam Arthashastra tersurat dan tersirat pedoman bagi penguasa untuk menyelenggarakan pemerintahan secara baik dan benar tak jauh beda dari apa yang kini disebut sebagai good governance.
Kautakya menawarkan pedoman manajemen pemerintahan yang bersih dari angkara murka penyalahgunaan kekuasaan yang kini disebut sebagai korupsi.
Menarik bahwa Kautakya menyamakan korupsi sebagai racun bercampur dengan air yang pada hakikatnya sulit, bahkan mustahil memisahkan racun yang sudah terlanjur bercampur dengan air.
Maka Arthashastra ketimbang kuratif lebih mengutamakan preventif pencegahan korupsi melalui kendali pengawasan akuntantif dan pembinaan budi pekerti sesuai kearifan Islam jihad al nafs sebagai pengendalian etika, moral dan akhlak diri sendiri ketimbang tindakan hukuman yang sudah terlambat menghadapi korupsi yang sudah terlanjur terjadi.
Kearifan Arthashastra utama terletak pada kesadaran atas paradoks memercayakan pemerintahan kepada para aparat pemerintah yang sebenarnya justru tidak layak dipercaya akibat kecederungan indisipliner, curang serta korup.
Paradoks pemerintahan sebenarnya sudah disindir lewat dramatisasi yang dilakukan pada abad V oleh dramawan Vishakhadatta di dalam mahakarya seni teater berjudul Mudrarakshasa alias Perdana Menteri Raksasa dan Cincin Kekuasaan.
Sementara pada abad XX, George Orwell sebenarnya juga sudah mengingatkan kita semua atas gejala bahaya angkara murka penguasa yang lupa daratan pada mahakarya distopia “Animal Farm”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.