KOMPAS.com - Nuruddin al-Raniri atau disebut juga Syekh Nuruddin al-Raniri adalah ulama penasihat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di Kota Ranir, India.
Ia adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan, dan sastrawan penting dalam sejarah melayu pada abad ke-17.
Meskipun bukan berasal dari Indonesia, perannya dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.
Baca juga: Kitab Bustanussalatin, Sumber Sejarah Keberadaan Kerajaan Aceh
Pada mulanya, Nuruddin al-Raniri tinggal di Ranir, tempat kelahirannya.
Di sana, ia mengenyam pendidikan pertamanya.
Setelah itu, al-Raniri melanjutkan sekolahnya ke Hadramaut.
Saat masih berada di tempat asalnya, al-Raniri memang sudah kaya akan ilmu agama.
Pengetahuan mengenai ilmu agama yang dikuasai al-Raniri tentu tidak terlepas dari peranan para gurunya, salah satunya adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin 'Abdullah bin Syaiban.
Nafs Sayyid Imam bin 'Abdullah bin Syaiban adalah seorang guru Tarekat Rifa'iyah keturunan Hadramaut, India.
Dalam perkembangannya, al-Raniri dikenal sebagai ulama yang sangat keras dalam melawan doktrin-doktrin bertentangan dengan keyakinannya.
Buktinya, sewaktu di India, al-Raniri berani menentang keras agama baru di India yang disebut sinkretis.
Sinkretis sendiri adalah sebuah agama perpaduan antara Islam dan Hindu.
Baca juga: Kebijakan Sultan Iskandar Muda Selama Memimpin Kesultanan Aceh
Sekitar tahun 1658, Nuruddin al-Raniri datang ke Aceh dengan membawa ajaran aliran miliknya, yaitu aliran tasawuf Qadariyah.
Pada waktu itu, aliran kepercayaan yang dianut di Aceh adalah Wujudiyah.