BERBAGAI cara dilakukan untuk meraih dukungan pemilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meski cara itu menyesatkan dan jauh dari aspek pendidikan politik.
Diberitakan Kompas.com (18/11/2023), telah beredar di media sosial, foto pecahan uang Rp 20.000 dengan stempel nama salah satu calon presiden dicap sebagai "Satria Piningit Heru Cakra Ratu Adil".
Foto-foto uang pecahan berstempel Satria Piningit juga pernah beredar menjelang Pilpres 2014 dan 2019.
Kosakata “Ratu Adil” ternyata masih juga diproduksi pada perhelatan Pilpres 2024 kali ini. Siapa pun yang memproduksi dan dengan maksud apa pun, saya kira, menghadirkan Ratu Adil pada Pilpres 2024 merupakan bentuk anakronisme. Apalagi dikaitkan dengan sosok calon presiden (capres) tertentu.
Ratu Adil, disebut juga Satria Piningit, Herucakra, sangat dikenal dalam masyarakat Jawa. Terutama melalui karya futurologis Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kediri yang hidup sekitar abad ke-11.
Ratu Adil digambarkan bersenjata Trisula. Tombak bermata tiga. Ratu Adil inilah yang menggerakkan pemberontakan petani pada zaman kolonial awal abad ke-19.
Mahaguru sejarah, Profesor Sartono Kartodirdjo, menuliskannya dengan sangat gamblang dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888.
Tokoh-tokoh lokal di kawasan perdesaan Jawa mengaku sebagai Ratu Adil, Herucakra, Satria Piningit. Mereka berhasil meyakinkan para petani sebagai pengikutnya untuk memberontak penguasa kolonial.
Bahkan, Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa (1825 –1830) juga dianggap Ratu Adil. Pemberontakan lokal, pun Pangeran Diponegoro, berhasil ditumpas oleh penguasa kolonial. Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado.
Peristiwa pemberontakan petani dan relasinya dengan Ratu Adil itu dicerna oleh Soekarno dengan kecerdasan semiotik.
Bung Karno menggunakannya sebagai latar pembelaannya di depan hakim kolonial pada 1930 atas tuduhan sebagai pembuat onar, penghasut, pengganggu “keamanan dan ketertiban”. Pembelaan Bung Karno terkenal dengan sebutan “Indonesia Menggugat”.
Bung Karno tidak anti-sejarah, pun bukan anti-karya futurologis Prabu Jayabaya. Ratu Adil dibaca secara semiotik dalam konteks sejarah ekonomi-politik negeri jajahan. Ratu Adil dilihat dari sudut relasi struktural ekonomi-politik saat itu.
Ratu Adil, dalam pandangan Bung Karno, adalah imajinasi rakyat terjajah, tokoh sakti yang diidam-idamkan dan dibayangkan sebagai pembebas.
Dengan semiotik ditemukanlah pandangan bahwa Ratu Adil adalah dunia baru, sistem kehidupan baru yang diidam-idamkan.
“Paham Ratu Adil ialah sociale rechtvaardigheid,” kata Bung Karno di pembelaannya yang diberi judul “Indonesia Menggugat”.