PERTANYAAN ini sudah mengganggu para pemikir dan cendikiawan Muslim paling tidak seratus tahun yang lalu.
Para ulama, intelektual, dan politisi Muslim dari berbagai bangsa yang memeluk Islam menanyakan sekaligus mencoba menjawabnya.
Para tokoh Muslim dari negara-negara Arab di Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, Eropa, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berdebat sudah lebih dari seabad soal ini.
Apakah praktik demokrasi ada dalam sejarah Islam? Apakah Islam mengajarkan demokrasi?
Dalam bentuk apa Nabi Muhammad SAW menjadi teladan demokrasi?
Para cendikiawan Muslim sebelum perang dunia dua memang rata-rata galau mencari bentuk bangsa-bangsa berpenduduk Muslim yang sedang dijajah Eropa untuk merdeka. Mereka mencari bentuk negara seperti apa nantinya, Indonesia termasuk di dalamnya.
Ada banyak solidaritas di kalangan Muslim untuk melahirkan konsep unik tentang demokrasi dan negara modern menurut ajaran Islam. Pemikiran tentang demokrasi saling terkait dan tersambung.
Cokroaminoto, misalnya, mengaitkan Islam, demokrasi, sosialisme, nasionalisme dan gerakan-gerakan lainnya yang relevan.
Para cendikiawan Muslim menjawab dengan berbagai cara, menggali dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur’an, membaca Hadits-hadits, dan meneliti kisah masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad.
Begitu juga mereka mencari embrio praktik politik empat khalifah utama setelah Beliau: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Menurut para cendikiawan itu, benih-benih itu sudah tumbuh. Begitu juga para pemikir setelah perang dunia dua, ketika negara-negara Muslim merdeka, mempertegas kembali nilai-nilai demokrasi dalam Islam: keadilan, musyawarah, kesejahteraan rakyat, perdamaian, hak-hak manusia, dan kebebasan warga. Dengan berbagai bahasa dan formula, nilai-nilai itu ada.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.