Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Adakah Demokrasi di Islam?

Kompas.com - 20/11/2023, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTANYAAN ini sudah mengganggu para pemikir dan cendikiawan Muslim paling tidak seratus tahun yang lalu.

Para ulama, intelektual, dan politisi Muslim dari berbagai bangsa yang memeluk Islam menanyakan sekaligus mencoba menjawabnya.

Para tokoh Muslim dari negara-negara Arab di Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, Eropa, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berdebat sudah lebih dari seabad soal ini.

Apakah praktik demokrasi ada dalam sejarah Islam? Apakah Islam mengajarkan demokrasi?
Dalam bentuk apa Nabi Muhammad SAW menjadi teladan demokrasi?

Para cendikiawan Muslim sebelum perang dunia dua memang rata-rata galau mencari bentuk bangsa-bangsa berpenduduk Muslim yang sedang dijajah Eropa untuk merdeka. Mereka mencari bentuk negara seperti apa nantinya, Indonesia termasuk di dalamnya.

Ada banyak solidaritas di kalangan Muslim untuk melahirkan konsep unik tentang demokrasi dan negara modern menurut ajaran Islam. Pemikiran tentang demokrasi saling terkait dan tersambung.

Cokroaminoto, misalnya, mengaitkan Islam, demokrasi, sosialisme, nasionalisme dan gerakan-gerakan lainnya yang relevan.

Para cendikiawan Muslim menjawab dengan berbagai cara, menggali dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur’an, membaca Hadits-hadits, dan meneliti kisah masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad.

Begitu juga mereka mencari embrio praktik politik empat khalifah utama setelah Beliau: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Menurut para cendikiawan itu, benih-benih itu sudah tumbuh. Begitu juga para pemikir setelah perang dunia dua, ketika negara-negara Muslim merdeka, mempertegas kembali nilai-nilai demokrasi dalam Islam: keadilan, musyawarah, kesejahteraan rakyat, perdamaian, hak-hak manusia, dan kebebasan warga. Dengan berbagai bahasa dan formula, nilai-nilai itu ada.

Di Indonesia, penggalian demokrasi modern dalam Islam secara teologis masih berlangsung. Para intelektual sebelum dan sesudah Reformasi, seperti Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Abdurrachman Wahid, Dawam Rahardjo, Fajrul Falakh, Mansur Faqih, dan para aktivis menegaskan sahnya demokrasi dalam Islam.

Namun, jika kita amati secara hati-hati, praktik demokrasi modern di dunia saat ini sangatlah unik. Tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia demokrasi seperti ini dengan berbagai varian masing-masing negara modern.

Demokrasi modern tidak pernah dipraktikkan dalam dinasti, monarkhi, kerajaan, feodalisme, dan bentuk-bentuk tradisional lain dalam Islam, Kristiani, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, atau agama-agama lain.

Jadi jelasnya, demokrasi perwakilan dengan sistem elektoral dan partai politik tidak pernah tercatat dalam sejarah bangsa manapun dengan agama dan iman apapun sebelum Amerika mendeklarasikan kemerdekaannnya tiga abad lalu.

Demokrasi dalam bentuk saat ini, belum pernah dipraktikkan dalam daulah Abbasiyah, Umayyah, Fatimiyyah, Usmani, Mamluk, Demak, Pasai, Tidore, Surakarta, Yogyakarta, atau Ternate.

Demokrasi modern juga tidak ada dalam praktik Majapahit, Mataram, Sriwijaya, atau kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Di Eropa ada praktik republik menjelang abad pencerahan, penemuan, dan kebangkitan, misalnya di Florensia. Namun, praktik itu sangat terbatas dalam suasana feodalisme.

Inggris pelan-pelan mengakomodasi peran parlemen. Perancis menyaksikan revolusi yang menumbangkan rajanya.

Jepang sangatlah kokoh peran emperium, shogun, samurai, dan sistem tradisionalnya. China dari satu dinasti ke dinasti lainnya akhirnya melahirkan revolusi sosialis dan komunis.

Korea utara walaupun namanya Republik Rakyat Demokrasi Korea, jauh dari praktik itu, hingga kini.

Kembali pada nilai-nilai demokrasi, tentu pembacaan dan tafsir ulang Kitab Suci yang sudah dilakukan berkali-kali oleh para pemikir Muslim menemukan kata-kata kunci tentang mental, moral, dan prinsip-prinsip itu: adil, sejahtera, musyawarah, hak asasi, perdamaian dan lain-lain.

Kitab-Kitab Suci agama dan iman lain pun juga mengandung ajaran-ajaran mulia kemanusiaan.

Hindu, Buddha, Kristiani, Konghucu, ajaran-ajaran leluhur Nusantara juga mengajarkan moral, mental, dan prinsip hidup jujur, manusiawi, dan menghindari ketamakan. Nilai-nilai demokrasi ada di situ.

Di sisi lain, saat ini banyak cendikiawan Barat yang sering menunjukkan keraguan, apakah demokrasi cocok dengan Islam? Bisakah masyarakat Muslim ber-demokrasi?

Apakah sistem pemilihan, partai politik, tegaknya hukum, kesepakatan, hak-hak dasar manusia, dan perdamaian bisa dilakukan bangsa-bangsa Muslim?

Apakah hanya negara-negara sekuler murni dan tradisi Kristiani Barat yang bisa menyelenggarakan demokrasi?

Ini terjawab dengan berbagai pengukuran empiris indeks negara-negara berpenduduk Muslim di dunia dari Timur Tengah, Afrika, Asia, dan Asia Tenggara.

Indonesia rata-rata nomor dua dari segi indeks. Jika angkanya satu sampai sepuluh, nilai Indonesia antara enam atau tujuh. Malaysia kebetulan banyak yang menempatkan urutan pertama.

Tentu pertimbangan itu tidak semata-mata prosedur seperti Pemilu saat ini atau adanya institusi demokrasi seperti parlemen, presiden, atau sistem yudikatif.

Namun bagaimana jalannya stabilitas politik, performa ekonomi, kebebasan media, peran masyarakat sipil, dan penegakan hukum berjalan.

Kita harus akui Malaysia sering lebih stabil dari Indonesia. Tetapi negara-negara lain lebih kacau lagi.

Negara-negara Muslim Timur Tengah sulit mengatasi konflik. Negara-negara Afrika labil. Asia Tengah sangat sulit kompromi politik.

Indonesia cukup menggembirakan, bukan?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com