HAJI menyangkut kerumitan tanggungjawab dan otoritas penyelenggara karena menyangkut birokrasi, administrasi, diplomasi global, ekonomi, sosial dan layanan.
Selama di Indonesia, Pemerintah Indonesia bertanggunjawab penuh atas wilayahnya. Dalam hal ini Kementrian Agama bekerjasama dengan instansi lain seperti Kementerian Kesehatan dan para anggota Dewan/Parlemen yang membahas anggaran, kebijakan, dan peraturan.
Namun ketika jamaah berada di Saudi, pemerintah lokal yang mempunyai otoritas wilayahnya.
Ketika jamaah Indonesia sudah di Saudi kontrol kuasa tidak di tangan Kementrian Agama. Walaupun kenyataannya, Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas menunjukkan totalitas dalam melayani.
Beliau tinggal sampai jam dua pagi di tenda Mina. Beliau duduk bersama para petugas selama di Arafah.
Begitu juga dengan para petugas di kantor Daker (Daerah Kerja) Mekkah. Namun kontrol tidak di tangan kita.
Teretori hukumnya, Mekkah dan Madinah, di dalam yurisdiksi pemerintah Saudi Arabia. Indonesia, baik rakyat maupun pemerintah, adalah tamu dengan visa haji. Yang memegang otoritas sah adalah pemerintah Saudi.
Siapa yang mempunyai otoritas harus dijelaskan di sini. Indonesia mempunyai otoritas hukum atas wilayahnya.
Saudi mempunyai kekuasaan di wilayahnya. Indonesia tidak berhak mengatur negara Saudi. Kedaulatan negara berlaku.
Soal otoritas pelayanan haji ada pergeseran di Saudi. Sebelum 2017, pemerintah Saudi memberikan kepercayaan pelaksananya kepada Muassasah, semacam badan Yayasan atau PT yang diberi wewenang sebagai EO (Event Organizer).
Sejak 2022 sampai tahun ini, penyelengaranya dibebankan kepada Mashariq (Asia Tenggara) dan Dhuyut al-Bayt (Asia Selatan, dari Turki, Iran, Afrika). Ini juga semacam PT atau bahkan holding.
Masyariq bisa jadi tidak mengerjakan semuanya sendiri. Tetapi ada sub-kontrak lagi di bawahnya, atau outsourcing lagi. Pemerintah Saudi tidak serta merta pada praktiknya memegang kontrol pelaksanaan itu sendiri.
Dari akomodasi, transportasi, sampai konsumsi, pemerintah Indonesia sudah tidak memegang sendiri kendalinya, tetapi sudah di bawah yurisdiksi Saudi. Saudi memberikan itu pada Mashariq. Mashariq melakukan sub-kontrak.
Selama di Mekkah atau Madinah, akomodasi, transportasi, dan konsumsi masih bisa dikomunikasikan dengan pihak EO.
Namun ketika para jamaah sudah pindah tempat ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina untuk melaksanakan wuquf, mabit, dan lempar jamarat, komunikasi dan kendali lebih rumit.