KOMPAS.com - Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah dua tokoh penting pada masa Kerajaan Majapahit.
Hayam Wuruk adalah raja Majapahit yang dinobatkan ketika masih berusia 17 tahun.
Sementara itu, Gajah Mada adalah mahapatih dari Kerajaan Majapahit di masa kekuasaan Hayam Wuruk.
Dalam sejarahnya, Gajah Mada dan Hayam Wuruk memiliki hubungan yang terbilang tidak cukup baik.
Faktor penyebab renggangnya hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah terjadinya Perang Bubat.
Baca juga: Perang Bubat, Muasal Stigma Suku Jawa dan Suku Sunda
Terjadinya Perang Bubat bermula dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk dengan putri Raja Sunda, Prabu Linggabuana, yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi.
Rencananya, pernikahan mereka diadakan di Majapahit. Sebenarnya, Linggabuana keberatan dengan lokasi tersebut.
Namun, pada akhirnya, Prabu Linggabuana tetap berangkat bersama rombongannya ke Majapahit.
Rombongan Linggabuana pun sampai di Majapahit dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Bersamaan dengan hadirnya pasukan Kerajaan Sunda, Gajah Mada juga diangkat menjadi patih.
Gajah Mada memiliki ambisi menguasai Kerajaan Pajajaran (Sunda) demi memenuhi Sumpah Palapa.
Oleh sebab itu, kedatangan pasukan Kerajaan Sunda ke Majapahit dianggap sebagai bentuk penyerahan diri mereka.
Gajah Mada pun segera mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka Citraresmi bukan sebagai pengantin, melainkan upeti.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik antara pihak Sunda dengan Gajah Mada.
Sebelum Hayam Wuruk menyampaikan keputusannya, Gajah Mada sudah lebih dulu mengerahkan pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan memaksa Linggabuana mengakui superioritas Majapahit.
Baca juga: Perbedaan Perang Paregreg dan Perang Bubat