Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Puputan Jagaraga dan Margarana

Kompas.com - 05/05/2022, 15:00 WIB
Serafica Gischa

Penulis

KOMPAS.com - Perlawanan raja - raja Bali terhadap Belanda dikenal dengan sebutan perang puputan yang maknanya perang sampai titik darah penghabisan. 

Puputan berasal dari bahasa Bali, puput yang artinya tanggal, putus, habis, atau mati. Sehingga puputan dalam bahasa Bali mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. 

Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga dan Puputan Margarana. Berikut penjelasannya: 

Puputan Jagaraga

Perang Puputan Jagaraga disebut Perang Bali II, terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali. 

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. 

Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng. 

Baca juga: Senjata Tradisional Kandik Bali

Adapun isi perjanjian damai tersebut, yakni: 

  • Kedua kerajaan harus mengakui Raja Belanda sebagai tuannya serta berada di bawah kekuasaan Gubernemen. 
  • Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya. 
  • Penghapusan peraturan Tawan Karang. Tawan Karang adalah hak raja-raja Bali untuk merampas kapal yang karam di perairannya. 
  • Harus membayar biaya perang sebesar 300 ribu Gulden. Raja Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang. Sedangkan Raja Karangasem membayar 1/3 biaya yang harus dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun.

Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan I Gusti Ketut Jelantik memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga. 

Di sana mereka mengatur strategi perang untuk melawan Belanda. Pada 8 Juni 1848, Belanda menyerang Pelabuhan Sangsit dan diserang balik oleh I Gusti Ketut Jelantik. 

Mengakibatkan 250 prajurit Belanda tewas dan menandakan bahwa Belanda kalah pada Perang Jagaraga pertama. 

14 April 1849, Belanda mendarat di Pelabuhan Pabean dan Sangsit. Mereka bersiap untuk melakukan aksi serangan di Jagaraga. 

Saat itu, I Gusti Ketut Jelantik berupaya untuk mengajak Belanda berdamai sebagai bentuk strategi mengulur waktu agar bisa meminta bantuan dari para raja Bali lainnya.

Usulan perdamaian ditolak Belanda dan I Gusti Ketut Jelantik kembali ke Desa Jagaraga. Namun, ketika perjalanan pulang, benteng pertahanan milik Jagaraga sudah diserang Belanda. 

I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng meminta bantuan Raja Karangasem. Namun, ditengah perjalanan mereka diserang Belanda dan tewas dalam pertempuran. 

Di Jagaraga, Jro Jempiring bersama dengan pimpinan prajurit menyerukan perang puputan dan menghunuskan dua keris ke diri mereka sendiri. 

Baca juga: Keunikan Keris Khas Bali

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com