Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Ganja Medis, yang Bisa Dilegalkan Bukan Tanaman tapi Obat Turunannya

Kompas.com - 08/07/2022, 17:30 WIB
Mela Arnani,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wacana legalisasi ganja medis tengah menjadi kontroversi di antara masyarakat, pakar kesehatan dan pembuat kebijakan di Indonesia.

Namun, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, yang perlu diluruskan adalah bahwa semestinya, yang dapat dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan sudah teruji klinis yaitu cannabidiol.

Pasalnya, legalisasi tanaman ganja menimbulkan potensi penyalahgunaan yang besar, mulai dari kontrol takaran, cara penggunaan hingga hal-hal lainnya. Dia mengkhawatirkan akan ada banyak "penumpang gelap" yang akan menumpang pada legalisasi ganja.

Ganja medis bukan tanaman ganja

Dijelaskan oleh Zullies dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (8/7/2022), ganja medis adalah terjemahan dari bahasa Inggris “medical cannabis”, yang telah banyak digunakan dalam literatur ilmiah. Menurut Health Direct, medicinal canabis adalah obat yang berasal dari ganja.

Baca juga: Kandungan dan Manfaat Ganja Medis yang Perlu Anda Ketahui

Dikarenakan sebagai obat, tentunya ganja medis harus memenuhi standar sebagai obat, yakni senyawanya terstandar, terukur dosisnya, dan digunakan sesuai indikasi dengan cara tepat.

Oleh karena itu, perlu diluruskan bahwa ganja medis bukan keseluruhan tanaman ganja, tapi komponen aktif tertentu yang memiliki aktivitas farmakologi atau terapi.

Ganja, dijelaskan Zullies, mempunyai beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi dengan yang utama adalah golongan cannabinoids.

Cannabinoids sendiri terdiri dari komponen utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif atau menimbulkan mabuk dan ketergantungan, dan cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti kejang tapi tidak bersifat psikoaktif.

Di Amerika Serikat, CBD telah dikembangkan sebagai obat dan sudah mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).

Salah satu contohnya adalah obat Epidiolex yang mengandung 100 mg/ml CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak merespons terhadap obat lain.

Demikian pula untuk penyakit Cerebral Palsy, yang dibutuhkan untuk menangani gejala kejangnya adalah CBD bukan keseluruhan tanaman ganjanya.

Baca juga: Benarkah Ganja Medis Bermanfaat untuk Pengobatan Penyakit? Ini Kata Ahli

Legalisasi CBD di Indonesia bisa dipertimbangkan

Zullies berkata bahwa sejauh ini, ganja, THC, dan delta-9 THC masuk dalam narkotika golongan 1. Namun, cannabidiol sama sekali belum masuk daftar obat narkotika golongan mana pun.

Untuk cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang telah ada serta tidak adanya sifat psikoaktif, zat ini kemungkinan bisa dimasukkan ke dalam narkotika golongan 2 atau 3.

Adapun regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis seperti Cannabidiol memerlukan koordinasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPOM, BNN, MUI, dan DPR, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya.

Menurut Zullies, riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, namun tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya.

Baca juga: Ada Peluang Penelitian Ganja untuk Medis, Menkes: Regulasinya Akan Segera Dikeluarkan

Sebagai contoh, obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal saat didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk digunakan sebagai terapi, seperti halnya morfin.

Untuk diketahui, morfin berasal dari tanaman opium atau candu. Akan tetapi, morfin adalah obat yang legal untuk digunakan selama digunakan sesuai resep dokter dengan indikasi, seperti pada nyeri kanker yang memang sudah tidak mempan lagi dengan analgesik lannya.

Demikian pula dengan ganja medis, kandungan CBD di dalamnya bisa menjadi alternatif meski bukan pilihan pertama, bila terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten.

“Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan,” ucap Zullies.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com