Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Kontroversi Terawan, Mantan Menkes yang Direkomendasikan Diberhentikan dari IDI

Kompas.com - 26/03/2022, 19:31 WIB
Mela Arnani,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beredar kabar bahwa Terawan Agus Putranto diberhentikan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Video rekomendasi pemberhentian yang dibacakan saat sidang khusus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dalam Muktamar ke-31 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBDI) di Banda Aceh, beredar luas di media sosial.

Ketua IDI Aceh Safrizal Rahman mengatakan, rekomendasi pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI berdasarkan hasil evaluasi kinerja pengurus sebelumnya.

“Rekomendasi pemberhentian dokter Terawan itu bukan produk baru saat muktamar di Aceh, tapi sudah sama itu dibahas pada saat muktamar lalu,” ujar Safrizal, Sabtu (26/3/2022).

Meski begitu, tidak dijelaskan alasan dan pertimbangan MKEK yang merekomendasikan pemberhentian mantan menteri kesehatan ini dari anggota IDI secara permanen.

Baca juga: Apa Perbedaan Pandemi, Endemi dan Epidemi?

Kontroversi

Publik sudah tahu, sosok Terawan sering membuat kontroversi dengan pernyataan-pernyataannya mulai dari metode cuci otak, vaksin nusantara, dan peraturan mengenai radiologi.

Melansir Kompas.com, 4 April 2018, Terawan mengaku inovasi terapi cuci otak yang dilakukannya dapat menyembuhkan penyakit stroke.

Dalam riset ilmiahnya, dipaparkan bahwa terapi ini menggunakan obat heparin untuk menghancurkan plak yang menyumbat pembuluh darah. Heparin dimasukkan lewat kateter yang dipasang di pangkal paha pasien, menuju sumber kerusakan pembuluh darah penyebab stroke di otak. Cairan ini juga menimbulkan efek anti pembekuan di pembuluh darah.

Namun, klaim ini telah lama mengundang pro kontra. Para ahli saraf berpendapat bahwa metode yang dilakukan oleh Terawan tidak dapat mengobati stroke karena hanya alat diagnosis saja.

"Brain wash itu bukan istilah kedokteran. Metode yang digunakan DSA itu alat diagnostik, sama seperti alat rontgen. Jadi bukan untuk terapi," ujar mantan Ketua Umum Perdossi Prof M Hasan Machfoed dalam Seminar Neurointervensi di Jakarta pada 2014.

Oleh karena itu, penggunaan DSA sebagai alat terapi stroke perlu dibuktikan terlebih dahulu secara ilmiah.

Mantan Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG, juga sependapat. Kepada wartawan pada 2018, dia mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.

Menurut Marsis, metode dan teknik pengobatan yang diterapkan Terawan telah teruji secara akademis ketika ia memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran. Namun, metode tersebut tetap harus diuji secara klinis dan praktis untuk bisa diterapkan kepada masyarakat luas.

Baca juga: Stroke, Terawan dan Cuci Otak, Bagaimana Masyarakat Harus Bersikap?

  • Vaksin Nusantara

Terawan juga menggagas Vaksin Nusantara yang menuai polemik panjang. Banyak pihak termasuk ahli biologi molekuler Indonesia Ahmad Utomo, Doktor Bidang Biokimia dan Biologi Molekuler Ines Atmosukarto, epidemiolog Pandu Riono hingga Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban yang mengkritik vaksin ini, khususnya terkait perkembangannya.

Begitu juga dengan Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menilai pengembangan vaksin nusantara tak sesuai kaidah ilmiah dan medis, serta memiliki banyak kejanggalan dalam proses penelitiannya, sehingga vaksin ini dinyatakan tidak lulus uji klinis fase I.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com