KOMPAS.com - Kombinasi vaksin AstraZeneca dan Pfizer disebut manjur dalam mencegah virus corona.
Dua kombinasi vaksin tersebut tak hanya memicu respons imun, tetapi juga memiliki efek samping yang bisa ditoleransi.
Hal ini menjadi bahasan warganet sejak Sabtu (26/6/2021), setelah dr Adam Prabata mengunggah twitnya.
Baca juga: 5 Hal yang Harus Dilakukan Setelah Vaksin Covid-19, Apa Saja?
"Kabar baik untuk kombinasi vaksin!!
Dosis ke-1: AstraZeneca
Dosis ke-2: Pfizer
Ternyata mampu memunculkan respon imun yang oke dan efek samping yang bisa ditoleransi.
Semoga jadi pembuka jalan untuk kombinasi vaksin-vaksin lainnya," twit dokter Adam.
Kabar baik untuk kombinasi vaksin!!
Dosis ke-1: AstraZeneca
Dosis ke-2: Pfizer
Ternyata mampu memunculkan respon imun yang oke dan efek samping yang bisa ditoleransi.Semoga jadi pembuka jalan untuk kombinasi vaksin-vaksin lainnya ???? pic.twitter.com/eXi0eaDaNz
— dr. Adam Prabata (@AdamPrabata) June 26, 2021
Dalam twit tersebut, dia juga menyertakan tangkapan layar studi berjudul Immunogenicity and reactogenicity of BNT162b2 booster in CgAdOx1-S-primed participants (CombiVacS): a multicentre, open-label, randomised, controlled, phase 2 trial.
Dalam laporan yang baru saja terbit di jurnal Lancet, Jumat (25/6/2021), Alberto M Borobia dan tim penelitinya mengatakan bahwa hingga saat ini tidak ada laporan data imunologi terkait vaksin kombinasi Covid-19.
Hal itulah yang mendasari timnya melakukan penelitian terkait vaksin kombinasi atau istilahnya vaksin heterologis, terutama pada vaksin AstraZeneca dan vaksin mRNA buatan Pfizer-BioNTech.
Para ilmuwan menyertakan bukti dan menilai keefektifan vaksin kombinasi dalam memicu respons imun dan menekan efek samping.
"Kami menilai imunogenisitas dan reaktogenisitas vaksin BNT162b2 (vaksin Pfizer-BioNTech) sebagai dosis kedua, pada peserta yang diberi dosis pertama vaksin ChAdOx1-S (AstraZeneca)," tulis peneliti dalam risetnya.
Imunogenisitas adalah kemampuan suatu substansi dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya.
Sementara dalam uji klinis, istilah reaktogenisitas mengacu pada sifat vaksin yang mampu menghasilkan reaksi merugikan, terutama respons imunologis yang berlebihan serta tanda dan gejala terkait, termasuk demam dan nyeri lengan di tempat suntikan.
Tim peneliti melakukan uji coba fase 2 secara acak dan terkontrol pada orang dewasa berusia 18-60 tahun.
Uji coba yang dilakukan pada pekan terakhir April, 24-30 April 2021, melibatkan 676 orang di lima rumah sakit universitas di Spanyol.
Rata-rata peserta berusia 44 tahun. Ada 382 wanita (57 persen) dan 294 pria (43 persen).
"663 peserta menyelesaikan penelitian hingga hari ke-14," tulis tim dalam laporannya.