Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

3 Hal yang Terlewat di Balik Tingginya Presentase Kematian Corona di Indonesia

Kompas.com - 02/04/2020, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Henry Surendra


SEJUMLAH media besar seperti ABC dan beberapa media nasional di Indonesia memberitakan bahwa persentase kematian karena COVID-19 di negeri ini menempati posisi tertinggi di dunia.

Sampai 1 April 2020, pemerintah Indonesia melaporkan 157 kematian (sekitar 9,4%) dari total 1.677 kasus terkonfirmasi COVID-19. Jika diartikan secara kasar, persentase ini menunjukkan bahwa sekitar 9 dari 100 kasus positif COVID-19 mengalami kematian.

Level kematian ini hampir dua kali lipat dari persentase kematian global sebesar 4,8% berdasarkan data dari Johns Hopkins University Amerika Serikat.

Namun, penghitungan tingkat kematian di Indonesia itu tidak mencerminkan kenyataan di lapangan karena jumlah kasus positif yang dilaporkan diperkirakan masih jauh dari angka yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Jumlah kasus terlapor adalah kasus yang dikonfirmasi lewat tes spesimen di laboratorium.

Persentase kematian akibat COVID di Indonesia seharusnya lebih rendah lagi karena mayoritas orang (kasus-kasus) yang terinfeksi COVID-19 masih tidak terdeteksi oleh sistem deteksi dini yang dilakukan saat ini.

Ibarat gunung es di tengah laut, yang tampak ke permukaan dan dideteksi oleh laboratorium baru pucuknya. Sedangkan bagian tengah dan dasarnya belum terdeteksi.

Berikut ini setidaknya tiga fakta di lapangan yang mempengaruhi penghitungan persentase kematian COVID-19.

1. Jumlah orang diperiksa sedikit sekali

Kecilnya jumlah spesimen yang diperiksa menyebabkan rendahnya temuan kasus COVID-19 di Indonesia.

Berdasarkan informasi resmi yang dirilis Kementerian Kesehatan, sejak 30 Desember hingga 30 Maret 2020, pemeriksaan baru dilakukan sekitar 6.600 orang dengan hasil 1.414 positif terkena COVID-19.

Sejauh ini, pemerintah hanya memfokuskan pemeriksaan pada orang yang memiliki gejala seperti demam (lebih dari 38 derajat Celcius), pilek, batuk, sakit tenggorokan atau sesak napas setelah kontak fisik dengan pasien positif atau bepergian ke wilayah terjangkit dalam 14 hari terakhir.

Kementrian Kesehatan Indonesia Imbauan pemeriksaan COVID-19 masih berfokus pada orang yang memiliki gejala COVID-19 dan pernah kontak dengan pasien positif atau berkunjung ke daerah endemis dalam 14 hari terakhir.

Hasil penelitian pemodelan matematika dari Timothy W Russell dan tim peneliti dari London School of Hygiene and Tropical Medicine Inggris memperkirakan bahwa Indonesia hanya mendeteksi sekitar 4,5% dari total kasus bergejala yang diperkirakan ada di masyarakat.

Dengan kata lain, ada sekitar 17.500 kasus bergejala yang diperkirakan tidak terdeteksi per 25 Maret 2020. Jumlah ini bisa mencapai 35.000 pada akhir Maret 2020, dengan asumsi bahwa jumlah kasus di Indonesia bertambah dua kali lipat setiap enam hari seperti laporan Max Roser dan tim dari Oxford University Inggris.

Persentase temuan kasus di Indonesia sangat rendah jika dibanding Korea Selatan yang mampu mendeteksi 78% kasus bergejala, dengan menerapkan strategi pemeriksaan massal.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com