Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang Keluhkan Aplikasi Justisia, Rentan Dimanfaatkan Mafia Tanah

Kompas.com - 30/05/2023, 06:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan aplikasi Jaringan Untuk Sistem Aplikasi Sengketa di Indonesia (Justisia) yang telah diluncurkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) dikeluhkan pengembang perumahan nasional dan sejumlah investor.

Aplikasi Justisia justru ditengarai menjadi celah baru, bagi masuknya praktik-praktik mafia tanah. Pada akhirnya mengancam investasi dan bisnis yang dijalankan pengembang.

Sejatinya, Ketua Umum Asosiasi Srikandi Pengusaha Properti Indonesia (Srideppi) Risma Gandhi mendukung tujuan diciptakannya aplikasi Justisia yaitu memantau dan menekan praktik mafia tanah sebagai monitoring bagi ATR/BPN.

"Namun, belakangan keberadaan aplikasi Justisia, justru mengancam keberlanjutan investasi di daerah,” cetus Risma dalam keterangan resmi kepada Kompas.com, Senin (29/5/2023). 

Menurut Risma, aplikasi Justisia bisa dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk memeras pengembang lewat mekanisme membikin girik palsu dan kemudian melakukan gugatan ke PTUN.

Baca juga: Bikin Investasi Rp 3,2 Triliun Hilang, 80 Kasus Mafia Tanah Bakal Digebuk

"Harapannya, setelah gugatan ke PTUN, nomor perkara dan nomor sertifikat dimasukan dalam aplikasi, maka otomatis semua sertifikat pengembang langsung terblokir,” terangnya.

Risma menambahkan, ketika ada pihak lain yang memiliki dokumen girik atau Letter C dan memasukkannya ke dalam sistem aplikasi Justisia, pengembang yang status lahannya dipersoalkan tersebut otomatis terblokir.

Pengembang bersangkutan tidak boleh melakukan pembangunan, walaupun tanah yang dikuasai itu sudah bersertifikat hak guna bangunan (SHGB) atau hak milik (SHM).

Risma menekankan, cara verifikasi aplikasi Justisia ini yang dikritisi, karena masih belum memberikan keamanan dan kepastian buat pengembang dan investor.

"Tanah kami yang sudah bersertifikat dan resmi dikeluarkan oleh ATR/BPN, justru diverifikasi dengan dokumen letter C atau girik dari pihak lain, jadi tidak apple to apple dan proses mediasinya itu juga memakan waktu lama,” cetus Risma.

Padalah sebenarnya, tahapan mediasi bisa diselesaikan kedua belah pihak yang bersengketa di ATR/BPN setempat. Misalnya ada permasalahan di legalitas kepemilikan, maka akan masuk ke bagian legal atau paralegal ATR/BPN.

Baca juga: Lima Tahun Terakhir, Kementerian ATR/BPN Tangani 305 Kasus Mafia Tanah

Setelah itu dilakukan pengukuran ulang. Kedua belah pihak datang untuk proses penyelesaian sesuai dokumen. Pada saat itu, bisa langsung diselesaikan. Buka blokiran atau lanjutkan proses hukum ke pengadilan

“Setelah adanya aplikasi Justisia tidak bisa. Karena proses mediasi di ATR/BPN-nya dihilangkan. Langsung masuk ke sistem. Jadi menurut kami verifikasi yang paling utama. Fokus kami diverifikasi legalnya. Dan ini acuannya harus tepat secara hukum. Jadi tidak ada yang dirugikan terutama yang sudah berinvestasi disitu,” jelasnya.

Celah Baru Praktik Mafia Tanah

Ketua Dewan Pengurus Daerah Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya Kalimantan Tengah Dwi Nurcahya menuturkan, proses administrasi tanah di BPN adalah proses bisnis pengembang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com