Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalah dari Malaysia, Waktu Tempuh Perjalanan di Indonesia 2 Jam Per 100 Kilometer

Kompas.com - 28/10/2022, 17:00 WIB
Thefanny,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Hedy Rahadian mengatakan, jalan yang baik adalah jalan yang dapat ditempuh dalam waktu yang singkat.

“Sistem jaringan jalan yang bagus itu adalah jalan yang waktu tempuhnya rendah, waktu tempuhnya pendek, biasanya kita nyatakan dalam berapa jam per 100 kilometer,” ucap Hedy dalam Seminar Sustainable Smart Transportation, Kamis (27/10/2022).

Indeks waktu tempuh Indonesia ia bandingkan dengan Malaysia. Rata-rata waktu tempuh di negara tetangga ini telah mencapai 1,5 jam per 100 kilometer, atau sekitar 60 kilometer per jam.

Angka ini berbanding jauh dengan Indonesia yang masih memiliki waktu tempuh di atas 2 jam per 100 kilometer.

Baca juga: Ini Penyebab Kondisi Jalan di Indonesia Tak Semulus Singapura

“Dengan waktu tempuh ini kita tahu bahwa jalan kita sama sekali tidak kompetitif, masih belum kompetitif,” sambungnya.

Terdengar remeh, tetapi masalah ini dapat berdampak pada biaya transportasi dan nantinya juga akan berdampak pada biaya logistik. Padahal, biaya logistik di Indonesia mencakup 24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk mengatasi hal ini, terdapat tiga tantangan yang dimiliki oleh pemerintah, yaitu anggaran, pengguna jalan, dan kemacetan.

Hedy mengatakan pemerintah pusat memiliki setidaknya 4.000 kilometer jalan rusak yang tidak mampu diperbaiki karena keterbatasan anggaran. Ia juga mengatakan angka ini lebih tinggi di pemerintah daerah provinsi dan kabupaten.

“Masalah pembiayaan jalan itu adalah masalah di negara mana pun, terutama di kita (Indonesia), itu masalah yang masih menghantui kita (pemerintah) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” jelas Hedy.

Selain anggaran, tantangan lainnya adalah kesadaran diri dari pengguna jalan. Masih banyak pengguna jalan yang tidak mematuhi peraturan, khususnya peraturan mengenai berat muatan maksimal.

Pasalnya, kendaraan dengan muatan berlebih berpotensi merusak jalan lebih cepat dan akhirnya akan berdampak pada waktu jarak tempuh.

Hal ini yang menjadi salah satu alasan di balik pemberlakuan izin penggunaan jalan oleh kendaraan besar seperti truk tronton dan truk tanah.

Tantangan terakhir adalah aspek kemacetan. Untuk meningkatkan waktu jarak tempuh, pemerintah juga perlu membasmi kemacetan. Selain kemacetan, pemerintah juga perlu memastikan aksesibilitas dan mobilitas dari jalan-jalan yang ada.

Hedy menawarkan solusi berupa smart sustainable roads dengan memanfaatkan teknologi untuk perkembangan transportasi di Indonesia. Ia mengatakan, pemerintah bisa memanfaatkan teknologi kamera, sensor, serta data-data yang ada.

Dengan perkembangan teknologi saat ini, data-data sudah dapat dikumpulkan secara masif dengan waktu yang singkat. Data ini nantinya bisa dianalisis untuk dijadikan prediksi di masa mendatang.

Ia juga mendorong perkembangan teknologi kamera dan sensor, khususnya untuk penggunaan jalan tol sehingga penggunanya hanya perlu membayar sesuai dengan jarak yang mereka gunakan.

Sayangnya, yang menjadi masalah saat ini adalah sulitnya mencari SDM ahli yang dapat memadai solusi-solusi ini.

“SDM kita itu mampu gak? Sehingga sustainable roads itu butuh sustainable supporting system sebenarnya. Smart system-nya itu sustainable gak?” ucap Hedy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com