YERUSALEM, KOMPAS.com - Orang-orang yang sangat lapar membobol gudang PBB untuk mengambil apa pun yang bisa mereka temukan. Anak-anak ketakutan dengan suara bising serangan udara. Keluarga-keluarga menggunakan air laut untuk mencuci. Orang-orang menebang pohon di pemakaman untuk digunakan sebagai bahan bakar untuk memanggang roti.
Dan di pagi hari, pada hari-hari ketika telepon berfungsi, banyak panggilan telepon ke kerabat dan teman untuk memeriksa apakah mereka selamat dari perang dua bulan antara Israel dan Hamas di Gaza.
Ibrahim, seorang penulis berusia 50 tahun yang tidak mau menyebutkan nama lengkapnya, menggambarkan suasana pelik itu pada Reuters.
Baca juga: Pasukan Israel Gempur Gaza Selatan, Warga Sipil: Tak Ada Tempat Aman
Dia mengatakan bahwa pertumpahan dara terjadi setiap hari. Suasana rumah sakit yang mengerikan dan penderitaan para pengungsi yang tidur seadanya di tenda-tenda hanyalah sebagian kecil dari bencana kemanusiaan yang dirasakan semua orang di Gaza.
"Lebih dari sekali, para pengungsi menjadi marah dan terkadang menyerbu gudang-gudang UNRWA karena kelaparan tidak kalah mematikannya dengan penembakan," katanya.
"Tragedi ini tidak terlihat oleh dunia. Pemandangan mayat, potongan tubuh, darah dan pemboman memang terlihat, namun krisis ini menimbulkan kemarahan di kalangan warga Gaza," ujarnya.
Dia berbicara sehari setelah kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk, menggambarkan kondisi di Gaza sebagai situasi apokaliptik.
Sebagai seorang ayah dari lima anak, Ibrahim adalah salah satu dari ratusan ribu orang yang telah meninggalkan rumah mereka di Gaza utara untuk mengungsi ke tempat penampungan di wilayah selatan, yang kini menjadi lokasi pertempuran sengit antara Israel dan Hamas.
"Tekanan Israel bukan hanya dari pemboman," katanya.
Sejak gencatan senjata selama seminggu berakhir pada 1 Desember, aliran truk bantuan dari Mesir ke Gaza telah berkurang menjadi tetesan air yang hanya dapat mencapai ujung selatan jalur tersebut.
Baca juga: Biden Telepon Netanyahu, Tekankan Perlindungan Warga Sipil di Gaza
Kantor kemanusiaan PBB, OCHA, sebelumnya mengatakan bahwa selama empat hari berturut-turut, Rafah di perbatasan dengan Mesir adalah satu-satunya gubernuran di Gaza di mana distribusi bantuan terbatas.
Hal itu berarti rak-rak kosong di toko-toko, harga yang sangat tinggi untuk beberapa barang yang tersedia, dan kembali ke sistem barter.
"Kami membakar arang dan memanggangnya untuk memberi makan anak-anak kami. Makanan sangat terbatas," kata Ibrahim.
Baca juga: Israel Setujui Tambahan Minimal Pasokan Bahan Bakar ke Gaza
"Komoditas dasar tidak ada. Tidak ada susu untuk bayi. Kami membeli apa pun yang tersedia di pasar," katanya, seraya menambahkan bahwa harga sekarung tepung melonjak dari sekitar 40 shekel (10,8 dollar AS) sebelum perang menjadi 500 shekel sekarang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.