Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Desa Aceh Dapat Ganti Rugi dari ExxonMobil atas Gugatan Penyiksaan oleh Tentara Indonesia yang Disewa

Kompas.com - 16/05/2023, 15:01 WIB
BBC News Indonesia,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Sebanyak 11 warga desa Aceh yang mengaku diri mereka atau keluarga mereka mengalami kekerasan mengerikan lebih dari 20 tahun lalu telah mendapatkan ganti rugi finansial dari ExxonMobil, menjelang pengadilan HAM yang sedianya dimulai akhir bulan ini.

Dalam kasus yang diajukan gugatannya pada 2001 di Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat, 11 warga desa itu menuduh ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk menjaga keamanan daerah operasional mereka.

Namun penduduk menuding, tentara itu justru menyalahgunakan wewenang mereka dan melakukan pelanggaran mengerikan terhadap pada penduduk desa dan keluarga mereka, termasuk pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penculikan.

Baca juga: Mabuk dan Telanjang, Pria Australia Serang Warga di Aceh

Selama periode ini, ExxonMobil melaporkan keuntungan perusahaan yang jumlahnya salah satu paling besar di dunia.

"Klien kami, 11 penduduk desa, dengan berani menghadapi salah satu perusahaan terbesar dan paling menguntungkan di dunia dan tetap berjuang selama lebih dari 20 tahun. Kami sangat senang, pada saat menjelang pengadilan, kami bisa mendapatkan keadilan bagi mereka dan keluarga," kata Agnieszka Fryszman, kuasa hukum penggugat dan ketua penasehat unit Hak Asasi Manusia, firma hukum Cohen Milstein.

"Kami mewakili perempuan dan anak-anak yang melihat ayah mereka ditembak mati, seorang perempuan yang dipaksa melompat-lompat berulang kali saat hamil delapan bulan dan kemudian mengalami pelecehan seksual, dan laki-laki yang ditahan dan disetrum, dibakar, dan punggung mereka dicoret dengan pisau," tambah Agnieszka.

Ke-11 warga desa yang identitasnya dirahasiakan dan disebut sebagai Jane dan John Doe mengalami berbagai penyiksaan berat termasuk pemukulan, pemerkosaan, penembakan dan menyebabkan kematian (anggota keluarga mereka) oleh tentara Indonesia yang disewa perusahaan minyak AS tersebut, pada periode 1999-2003 silam.

Mereka sejatinya sudah siap untuk diberangkatkan ke Washington DC dan memberikan kesaksian di pengadilan Amerika Serikat pada awal Juni ini dalam kasus yang disebut John Doe Vs ExxonMobil. Bahkan, video para saksi kekerasan yang telah direkam, juga sudah disiapkan untuk diperdengarkan di pengadilan dengan sistem juri ini.

Identitas mereka tetap dirahasiakan dan jumlah ganti rugi juga tidak dirinci demi keamanan mereka.

Salah seorang penduduk desa mengatakan, "Meskipun tidak ada yang bisa mengembalikan suami saya, kemenangan ini memberikan keadilan yang telah kami perjuangkan selama dua dekade dan akan mengubah hidup saya dan keluarga saya."

"Saya senang, kami tidak menyerah dalam berjuang dan suara kami didengar," tambahnya.

Terry Colingsworth, pendiri dan direktur International Rights Advocates yang mengajukan gugatan kasus ini pada 2001, menyebut dedikasi dan komitmen penduduk desa untuk mencari pertanggung jawaban dalam 20 tahun terakhir "sangat menginspirasi."

Baca juga: 10 Gempa Paling Mematikan di Abad Ke-21: Dari Aceh, Turkiye, sampai Yogyakarta

Kesaksian 11 warga desa yang dipaparkan dalam artikel ini tercantum dalam dokumen opini hakim yang telah diterbitkan pengadilan distrik Washington DC.

*Peringatan: Artikel ini berisi rincian tentang kekerasan

Foto ilustrasi. Tentara berpatroli di Aceh pada awal tahun 2000-an.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Foto ilustrasi. Tentara berpatroli di Aceh pada awal tahun 2000-an.
Para penggugat yang terdiri dari 11 individu merupakan penduduk desa yang tinggal di seputar Ladang Gas Arun yang dioperasikan oleh ExxonMobil.

Para pegiat HAM menyebut mereka terjebak dalam kekerasan konflik Aceh yang memuncak pada periode itu.

Salah seorang penggugat adalah pedagang sayur keliling yang menjajakan jualannya dengan mengendarai sepeda motor.

Ada satu peristiwa yang mengerikan bagi keluarga ini. Pada satu malam di bulan Januari 2001, seorang korban yang dijuluki John Doe I meraung kesakitan begitu sampai di rumah.

Tangannya dipotong, satu matanya dicungkil (foto atas), menurut dokumen pengadilan.

Setelah lebih tenang, ia baru bisa bercerita keesokan harinya kepada istrinya, Jane Doe V, bahwa ia disiksa "Tentara Exxon". Beberapa hari ia menghilang, disiksa dan kembali ke rumah dengan hanya mengenakan pakaian dalam dengan kondisi luka parah.

John Doe I, yang meninggal pada 2003 dalam serangan di desanya, juga mengatakan tentara menembaknya di pergelangan tangan, meledakkan granat di dekatnya, serta membiarkannya tergeletak.

Agnieszka Fryszman serta Terry Collingsworth menyebut proses hukum yang sangat lama ini, dimungkinkan berjalan karena "keberanian luar biasa" penduduk.

Foto Ilustrasi. Ladang Gas Arun yang dioperasikan ExxonMobil sampai sebagian besar aset dijual ke Pertamina pada 2015.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Foto Ilustrasi. Ladang Gas Arun yang dioperasikan ExxonMobil sampai sebagian besar aset dijual ke Pertamina pada 2015.
Risiko keselamatan mereka- dengan identitas disembunyikan dalam lebih 20 tahun - yang paling berat adalah terbunuh.

"Mereka adalah sekelompok sangat kecil penduduk desa yang mempertaruhkan diri mereka sendiri dengan risiko fisik yang sangat tinggi, dan mereka sangat takut akan ada pembalasan. Mereka tetap bersedia untuk maju dan melawan perusahaan terbesar di dunia. Ini sungguh luar biasa," kata Agnieszka kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.

Sementara Terry--yang pertama berjumpa dengan para penduduk desa itu di Aceh pada 2001--mengatakan bisa menyaksikan sendiri ketakutan mereka "dari kata-kata mereka sendiri dan juga bahasa tubuh yang sangat jelas."

"Mereka ketakutan. Jadi betapa beraninya mereka karena bersedia mengungkap kejahatan hak asasi manusia ini. Pada saat yang sama mereka sangat takut akan menghadapi nasib yang sama dengan orang-orang yang mereka sayang, yang disiksa dan dibunuh. Jadi butuh keberanian luar biasa untuk mengatakan saya akan mengatasi kondisi ini," tambahnya.

Pada periode akhir 1990an dan awal 2000an, konflik Aceh tengah memanas. Kekerasan dilaporkan banyak terjadi dengan tentara dikerahkan ke provinsi ini untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka.

Namun dalam kasus ini, pelaku kekerasan bukan tentara biasa.

Dalam dokumen pengadilan, para penggugat menyebutnya sebagai "Tentara Exxon"--tentara Indonesia yang disewa untuk menjaga keamanan di seputar ladang gas alam yang pernah disebut petinggi raksasa minyak itu sebagai "permata di mahkota perusahaan."

Dalam memorandum opini yang telah disunting dan dikeluarkan oleh Pengadilan Distrik Columbia pada Agustus 2022, ExxonMobil menyatakan tidak ada bukti cukup untuk mengaitkan tentara yang mereka sewa dengan apa yang terjadi pada penggugat.

Namun hakim yang menangani kasus ini menyatakan sebagian besar argumen raksasa gas dan minyak itu "sama sekali tidak berdasar" dan bahwa keterangan para penggugat dapat didengar juri di pengadilan.

Baca juga: Pakar dari Australia Jelaskan Beda Gempa Cianjur dengan Gempa Aceh 2004

Trauma dan bekas luka yang masih membekas

Luka bekas pukulan itu masih terlihat jelas di kepala dan kakinya. Pukulan popor senjata "Tentara Exxon" di kepala salah satu penggugat berjuluk John Doe sesekali masih mengeluarkan nanah sampai saat ini.

Ia masih ingat lokasi tempat dia dipukul karena kepalanya tidak ditutup saat penyiksaan dia alami.

"Dipukul ramai-ramai…dengan senjata dan kayu…di salah satu klaster," kata John Doe.

Suaranya masih terdengar bergetar saat ditemui tahun lalu. Secara fisik ia terlihat kuat, tapi traumanya masih kentara.

Ladang Gas Arun di Aceh utara pernah disebut petinggi ExxonMobil sebagai permata di mahkota perusahaan.GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Ladang Gas Arun di Aceh utara pernah disebut petinggi ExxonMobil sebagai permata di mahkota perusahaan.
Banyak gigi bawahnya rontok akibat pukulan, sementara rahangnya masih terlihat terlepas, ketika ditemui tahun lalu oleh wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

John Doe lain yang ditemui di desa yang berbeda mengatakan ia sama sekali tak melihat siapa yang memukulnya karena kepala ditutup.

Namun ia masih ingat persis hari nahas yang menimpanya: Jumat, bulan Juli tahun 1999, sekitar pukul 19:00 WIB.

Ia tengah mengendarai sepeda motor untuk mengambil gaji.

"Saya dicegat petugas, uang yang saya pegang dirampas…selama lebih 20 hari saya disiksa, tidak tahu di mana karena kepala ditutup," tuturnya. Masih ada bekas-bekas luka di kakinya.

Di balik pengalaman traumatik ini, dua John Doe ini bertekad ingin melihat keadilan ditegakkan dengan pihak ExxonMobil "mengakui melakukan pelanggaran HAM".

Dalam dokumen memorandum opini sebanyak 85 halaman, keterangan ini serupa dengan yang diceritakan oleh John Doe IV.

Ia dicegat tentara sekembalinya dari mengambil gaji dalam perjalanan dari Paya Bakong ke Matang Kuli.

Jalan antara dua lokasi ini melalui Klaster 4, salah satu lokasi yang dijaga tentara. Ia dicegat sekitar 150 meter dari klaster oleh sekitar selusin tentara.

Ia mengatakan tentara menutup kepalanya dengan karung saat dibawa ke satu tempat. Ia tak bisa melihat wajah para tentara itu.

Dalam dokumen itu disebutkan lokasi-lokasi tempat penggugat mengalami penyiksaan, antara lain Poin A (kantor manajemen), empat klaster yang berlokasi di dekat sumur pengeboran, fasilitas-fasilitas penunjang, termasuk Kamp A-13, yang dikenal sebagai "tempat penyiksaan."

Sejak 2015 lalu, ExxonMobil, melalui juru bicara Todd Spitler menyanggah tuduhan para penggugat ini.

"Kami telah memperjuangkan klaim tak berdasar selama bertahun-tahun ... Klaim penggugat tidak berdasar."

"Dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, ExxonMobil telah bekerja dari generasi ke generasi untuk meningkatkan kualitas hidup di Aceh melalui penggunaan tenaga kerja lokal, penyediaan layanan kesehatan, dan investasi masyarakat yang ekstensif. Perusahaan mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun," kata Spitler dalam pernyataan, jawaban yang tetap ia acu saat ditanya wartawan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

AS Menentang Penyelidikan ICC atas Tindakan Israel di Gaza, Apa Alasannya?

AS Menentang Penyelidikan ICC atas Tindakan Israel di Gaza, Apa Alasannya?

Global
Saat Mahasiswa Columbia University Tolak Bubarkan Diri dalam Protes Pro-Palestina dan Tak Takut Diskorsing... 

Saat Mahasiswa Columbia University Tolak Bubarkan Diri dalam Protes Pro-Palestina dan Tak Takut Diskorsing... 

Global
ICC Isyaratkan Keluarkan Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu, Israel Cemas

ICC Isyaratkan Keluarkan Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu, Israel Cemas

Global
[POPULER GLOBAL] Bom Belum Meledak di Gaza | Sosok Penyelundup Artefak Indonesia

[POPULER GLOBAL] Bom Belum Meledak di Gaza | Sosok Penyelundup Artefak Indonesia

Global
Pria Ini Memeluk 1.123 Pohon dalam Satu Jam, Pecahkan Rekor Dunia

Pria Ini Memeluk 1.123 Pohon dalam Satu Jam, Pecahkan Rekor Dunia

Global
Ukraina Gagalkan 55 Serangan Rusia di Donetsk

Ukraina Gagalkan 55 Serangan Rusia di Donetsk

Global
Datangi Arab Saudi, Menlu AS Bujuk Normalisasi Hubungan dengan Israel

Datangi Arab Saudi, Menlu AS Bujuk Normalisasi Hubungan dengan Israel

Global
Saat Bangladesh Liburkan Sekolah secara Nasional karena Gelombang Panas...

Saat Bangladesh Liburkan Sekolah secara Nasional karena Gelombang Panas...

Global
Sepak Terjang Alexei Navalny, Pemimpin Oposisi Rusia yang Tewas di Penjara

Sepak Terjang Alexei Navalny, Pemimpin Oposisi Rusia yang Tewas di Penjara

Internasional
Bendungan Runtuh Akibat Hujan Lebat di Kenya Barat, 40 Orang Tewas

Bendungan Runtuh Akibat Hujan Lebat di Kenya Barat, 40 Orang Tewas

Global
3 Wanita Mengidap HIV Setelah Prosedur 'Facial Vampir' di New Mexico

3 Wanita Mengidap HIV Setelah Prosedur "Facial Vampir" di New Mexico

Global
Hamas Luncurkan Roket ke Israel dari Lebanon

Hamas Luncurkan Roket ke Israel dari Lebanon

Global
PM Singapura Lee Hsien Loong Puji Jokowi: Kontribusinya Besar Bagi Kawasan

PM Singapura Lee Hsien Loong Puji Jokowi: Kontribusinya Besar Bagi Kawasan

Global
Sejak Apartheid Dihapuskan dari Afrika Selatan, Apa Yang Berubah?

Sejak Apartheid Dihapuskan dari Afrika Selatan, Apa Yang Berubah?

Internasional
Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Dubai Mulai Bangun Terminal Terbesar Dunia di Bandara Al Maktoum

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com