Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sekte Akhir Zaman Uganda, Bakar Habis 700 Pengikutnya

Kompas.com - 17/03/2020, 21:05 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

KAMPALA, KOMPAS.com - Judith Ariho tidak meneteskan air mata saat dia mengingat pembantaian gereja, yang menewaskan ibunya, dua saudara kandung, dan empat kerabatnya, sebuah peristiwa yang menewaskan 700 orang.

Tepat 20 tahun yang lalu, di distrik Kanungu, Uganda barat daya, sejumlah orang dikunci di dalam sebuah gereja, dengan pintu dan jendela dipaku tertutup dari luar. Gereja itu kemudian dibakar.

Dua dekade kemudian, kengerian peristiwa ini masih terasa oleh Ariho, yang tampaknya hanya mampu mengatasi trauma dengan menutup diri dari emosi.

Baca juga: Pemimpin Sekte Sesat di Korea Selatan Dijerat Pasal Pembunuhan Terkait Penyebaran Virus Corona

Mereka yang tewas adalah anggota Gerakan Pemulihan Sepuluh Perintah Allah - sekte yang percaya bahwa dunia akan berakhir pada pergantian milenium.

"Akhir zaman,", seperti yang diungkapkan oleh salah satu buku yang jadi pegangan kelompok itu, yang terbit dua setengah bulan kemudian, pada 17 Maret 2000.

Selang 20 tahun kemudian, tidak ada seorang pun yang dituntut atas pembantaian itu.

Para pemimpin sekte, jika mereka masih hidup, tidak pernah ditemukan.

Anna Kabeireho, yang masih tinggal di lereng bukit yang menghadap ke tanah yang dimiliki oleh sekte itu, belum bisa melupakan bau yang menyelimuti lembah itu pada Jumat pagi.

"Semuanya tertutup asap, jelaga, dan bau daging yang terbakar. Baunya langsung terasa di paru-paru Anda," kenangnya.

"Semua orang berlari ke lembah. Api masih menyala. Ada lusinan mayat, terbakar tak bisa dikenali.

"Kami menutupi hidung kami dengan daun aromatik untuk menangkal bau. Selama beberapa bulan sesudahnya, kami tidak bisa makan daging."

Baca juga: Sekte Sesat yang Pemimpinnya Mengaku Pakai Jubah Yesus Dianggap Asal Virus Corona di Korsel

Kanungu adalah daerah subur dan damai di perbukitan hijau dan lembah yang dalam, tertutupi oleh pertanian kecil yang tergantikan oleh rumah-rumah.

Perjalanan ke lembah, yang dulunya markas sekte itu, harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Dari sana, mudah untuk melihat bagaimana komunitas religius itu mempertahankan hidup mereka, jauh dari mata para tetangga.

Kicau burung memantul dari bukit dan terdengar suara air terjun di kejauhan. Ini adalah kondisi yang ideal untuk berkontemplasi.

Tapi tidak ada sisa bangunan yang disiram bensin dan dibakar.

Di tepi tempat itu ada gundukan tanah yang panjang, satu-satunya penanda kuburan massal, tempat jasad dari jemaat gereja itu dimakamkan.

Baca juga: Anggotanya Tularkan Virus Corona, Pemimpin Sekte Sesat di Korsel Ini Berlutut Minta Maaf

Pastor dan biarawati yang "dicopot"

Orang-orang yang kemudian menjadi korban mengikuti pemimpin karismatik Credonia Mwerinde, seorang mantan bartender dan pekerja seks, serta mantan pegawai pemerintah Joseph Kibwetere, yang mengatakan mereka memiliki visi tentang Perawan Maria pada 1980-an.

Mereka mendaftarkan gerakan itu sebagai kelompok yang tujuannya adalah mematuhi Sepuluh Hukum Allah dan memberitakan firman Yesus Kristus.

Ikon-ikon Kristen di halaman kultus itu memiliki hubungan yang lemah dengan Katolik Roma dengan kepemimpinannya didominasi oleh sejumlah mantan imam dan biarawati, termasuk Ursula Komuhangi dan Dominic Kataribabo.

Pengikut sekte itu kebanyakan hidup dalam keheningan, kadang-kadang hanya menggunakan tanda-tanda untuk berkomunikasi.

Pertanyaan akan dikirim ke Mwerinde secara tertulis. Ia dikenal sebagai "sang pemrogram", yang dipercaya sebagai dalang di balik gerakan itu.

Baca juga: Sebuah Sekte di India Minta Izin Pemerintah untuk Korbankan Manusia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com