Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M Kashai Ramdhani Pelupessy
Dosen

Dosen Psikologi di IAIN Ambon, Kolumnis di Alif.ID, dan penulis di berbagai media lokal

Eksistensi Semu Jadi Profesor

Kompas.com - 18/04/2024, 15:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA hari lalu, jagat maya dihebohkan dengan seorang profesor muda yang telah mempublikasikan 160 artikel ilmiahnya pada laman jurnal terindeks Scopus sepanjang 2024.

Sontak ini menggegerkan dunia akademik di Indonesia. Muncul banyak tanya tertuju pada 160 artikel tersebut, "apakah artikel yang sudah terbit itu berkualitas?"

Salah satu pandangan dari akademisi yang paling menarik perhatian saya terkait kejadian di atas, datang dari Prof. Iswandi Syahputra.

Ia dalam opininya di Kompas, 17 April 2024, menyampaikan bahwa kejadian itu merupakan buah dari efek kobra yang mendera dunia akademik kita sekarang ini.

Efek kobra yang diumpamakan Prof. Iswandi berangkat dari fenomena anekdotal di India, sekilas digunakannya untuk menjelaskan tentang usaha mengejar peningkatan kuantitas publikasi di Indonesia, malah justru menghasilkan dampak buruk bagi marwah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dalam beberapa dekade belakangan diketahui bahwa persentase publikasi di Indonesia sangat rendah. Bahkan jauh di bawah negara tetangga kita, yakni Malaysia.

Tampaknya, setiap negara tak hanya berlomba-lomba dalam meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.

Di sisi lain, setiap negara juga memprioritaskan peningkatan publikasi ilmiah dalam konteks "perlombaan" tersebut. Negara mana yang paling tinggi publikasi ilmiahnya cenderung dikategorikan sebagai negara "maju" dan "rasional".

Seturut dengan situasi itu kemudian mendorong pemerintah Indonesia melalui Kemenristekdikti memotivasi para peneliti dan dosen untuk meningkatkan publikasi ilmiahnya.

Tak tanggung-tanggung, bahkan untuk mengejar peningkatan tersebut, setiap perguruan tinggi di Indonesia akan memberi hadiah bagi dosen yang telah mempublikasikan artikel ilmiahnya pada jurnal bereputasi seperti terindeks Scopus.

Di situlah kemudian muncul masalahnya, apakah usaha meningkatkan publikasi ilmiah hanya sebatas pengejaran kuantitas semata? Lantas, sejauh mana kualitas artikel ilmiah yang telah terpublikasikan itu?

Dalam satu dekade belakangan ini, publikasi ilmiah di Indonesia memang tampak naik drastis, tapi kualitasnya sangat jauh di bawah standar keilmiahan.

Tujuan pemerintah dalam kebijakannya untuk meningkatkan publikasi ilmiah tampaknya benar, tapi justru melahirkan efek kobra di kalangan akademisi yang doyan mengejar kepangkatan serta tunjangan profesor.

Pangkal persoalannya, menurut saya, adalah motivasi eksistensi semu yang telah menjadi mentalitas akademisi kita. Hal ini semakin terkondisikan dengan adanya kebijakan untuk meningkatkan publikasi ilmiah di Indonesia.

Dalam kata lain, eksistensi semu yang telah mendahului esensi itulah yang menjadi akar persoalannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com