Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangtua Tentukan Kampus Anak, Efeknya Bisa Stres hingga Depresi

Kompas.com - 13/02/2024, 19:59 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Dosen Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY, Dr. Das Salirawati menunjukkan fakta bahwa banyak anak yang mengalami stres bahkan depresi. Hal itu karena banyak orangtua yang menentukan kampus dan jurusan kuliah anaknya.

"Secara psikologis ada beberapa macam penyebab, seperti obsesi orangtua yang sangat mendambakan anaknya menjadi sarjana tertentu, atau cita-cita orangtua dahulu yang tidak kesampaian lalu anak dijadikan sasaran untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Ini keliru," kata dia dilansir dari laman UNY, Selasa (13/2/2024).

Baca juga: Anies Baswedan: Anak Guru dan Dosen Harus Dapat Beasiswa Pendidikan

Das Salirawati memberikan kiat untuk mengurangi tingkat stres anak dalam menghadapi kebingungan memilih program studi di perguruan tinggi. Di antaranya pilih jurusan yang memiliki prospek kerja yang tinggi dan luas.

"Carilah informasi sebanyak mungkin melalui internet atau media lain," ujar dia.

Lalu, diskusikan bersama orangtua untuk melihat keketatan persaingan dan kemungkinan peluang diterimanya, karena biasanya peminat sangat banyak.

"Perlu juga dibahas tentang kebutuhan tenaga kerja lulusannya oleh suatu institusi atau perusahaan, sehingga kemungkinan dapat masuk bekerja di sana," ungkap dia.

Kiat berikutnya adalah pertimbangkan kemampuan akademis (kecerdasan intelektual), biaya, dan mental anak.

Jangan sampai dari segi kecerdasan sudah tidak memadai, tetapi orangtua memaksakan anak memilih jurusan atau prodi tertentu sebagai ambisi atau obsesi orangtua semata.

"Demikian juga kemampuan biaya atau finansial, apakah kira-kira mampu membiayai sampai lulus atau tidak. Seharusnya orangtua juga dapat mengukur kemampuan diri, jangan hanya karena gengsi," tutur Das Salirawati.

Baca juga: 6 Kemampuan Tanda Anak Siap Masuk SD, Bukan Calistung

Perlu diketahui oleh orangtua bahwa untuk menyelesaikan studi di perguruan tinggi tidak cukup hanya siap otak dan biaya, tetapi juga harus siap mental.

Sebab, pada saat mahasiswa kuliah dituntut untuk lebih banyak belajar dan berusaha sendiri, serta banyak bertemu dengan dosen-dosen unik yang kadang-kadang tidak mau menjelaskan secara detail, karena menganggap mahasiswa sudah dewasa dan dapat diberi kewajiban belajar serta mencari sendiri materi kuliahnya.

Belum lagi bertemu dengan dosen-dosen ‘killer’ yang tidak mau wibawanya jatuh dengan menjaga jarak terhadap mahasiswanya, sehingga sulit bagi mahasiswa untuk minta permakluman kondisinya.

Baca juga: Kisah Sarjiya, Anak Penjual Gula Jawa yang Jadi Profesor di UGM

"Terlebih ketika harus menyelesaikan syarat kelulusan, yaitu menyusun skripsi, jika bertemu dengan dosen pembimbing yang tidak ramah dan adaptif dengan kondisi mahasiswa, dapat dipastikan lulusnya akan terhambat yang otomatis orangtua harus menyediakan biaya ekstra untuk menyelesaikan kuliah," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com