KEHADIRAN guru konten kreator, guru influencer, atau apapun sebutannya dalam belantara pendidikan dan keguruan saat ini menjadi fenomena khusus yang perlu kita sikapi dengan kritis.
Seorang guru merekam aktivitas pembelajaran, mengedit, merekayasa, sebelum akhirnya diunggah dalam bentuk konten. Istilah populernya “berbagi praktik baik.”
Sebatas permodelan tersebut, tentu tidak ada yang perlu dipersoalkan. Bahkan dalam bingkai disiplin ilmu teknologi pendidikan, permodelan “berbagi praktik baik” tersebut diyakini sebagai implementasi variasi pembelajaran–yang dapat membantu proses peningkatan mutu pendidikan lebih efektif, efisien, cepat, dan banyak.
Dukungan masyarakat jaringan lewat media sosial juga akan membuat persebarannya jauh lebih terakomodasi dan tercapai.
Di sisi lain, dalam pengembangan, pelebaran, dan pemberdayaan, banyak pula guru yang menjadikan fenomena ini sebagai ruang aji mumpung untuk ikut meramaikan dunia perkontenan dan branding diri.
Tujuan “berbagi praktik baik” justru berubah dan berbelok arah ke sebaran produksi, duplikasi, dan pengekoran viralitas belaka.
Tidak ada data resmi untuk persoalan ini. Namun perlu diketahui bersama, memang belum ada pengelompokan yang jelas dan pasti perihal persoalan ini.
Padahal, kita sedang kesulitan membedakan batas maksud, fungsi, dan identitasnya, antara Guru, Guru Ngonten, Guru Konten Pendidikan, Guru Influencer, Guru Penggerak, Kreator Konten Pendidikan, hingga Sales Kurikulum.
Semua fungsi dan identitas tersebut berbaur menjadi satu dalam wadah konten. Sehingga, pada akhir kalkulasi tujuannya semua bermuara ke peningkatan views, followers, branding, sampai open endorse.
Pendidikan, pembelajaran, dan identitas guru berubah sekaligus bergeser menjadi inang dan cangkang atas nama konten. Kalau sudah begini, integritas pendidikan menjadi dipertaruhkan dalam bingkai popularitas.
Itu sebabnya, penting untuk menanyakan ulang secara terus menerus, berbagi praktik baik akhirnya untuk siapa dan apa? Apa yang terjadi ketika camera off? Bagaimana kondisi real dari aktivitas tersebut?
Tidak bermaksud sedikit pun untuk mencurigai segala hal baik, namun ketika kita memutuskan masuk ke ranah masyarakat digital (media sosial), konsekuensi yang tidak terprediksi (unintended consequence) merupakan hal yang tidak bisa dihindari.
Bagaimanapun ruang maya adalah desain ruang manipulatif, rekayasa, dan pengondisian.
Karakter dan sifat desain tersebutlah yang membuat makna sudah bukan lagi tentang makna itu sendiri. Jauh melampaui keadaan sebenarnya.
Dalam interaksi sosial, Erving Goffman menyebutnya dramaturgi. Contohnya begini, Anda sebelum masuk ruang rapat bersama atasan, tentu segala sesuatunya akan dipersiapkan. Mulai dari pakaian rapi, bersih, wangi, bersepatu, dsb.