Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Masyarakat Linguistik Indonesia
Komunitas Kajian Bahasa

Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) adalah himpunan profesi yang menghimpun bahasawan, dosen, guru, mahasiswa, peneliti, maupun pengamat bahasa atau siapa saja yang tertarik dengan kajian bahasa dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara.

Belajar Bahasa Ibu Berbasis Komunitas

Kompas.com - 07/09/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Oleh: Oleh Gufran A. Ibrahim (Ibrahim Gibra)*

MENGAPA bahasa-bahasa di dunia terus tergerus, terancam punah, dan akhirnya benar-benar punah? Ada banyak jawaban para ahli atas pertanyaan ini.

"Living Tongues: Institute for Endangered Languages", satu lembaga yang bergiat dalam riset dan preservasi bahasa-bahasa di dunia, terutama bahasa-bahasa minoritas di negara-negara berkembang punya jawaban sendiri.

Lembaga nirlaba dan nonpemerintah ini berkantor di Oregon Amerika Serikat. Tim riset Living Tongues mendokumentasi praktik budaya dan bahasa yang dalam kategori endangered languages, bahasa-bahasa yang terancam punah, memublikasikan hasil-hasil riset, pelatihan digital dan lokakarya untuk aktivis bahasa, dan berkolaborasi dengan masyarakat untuk menghidupkan bahasa berdasarkan program revitalisasi bahasa.

Setelah berpuluh tahun meriset dan mempreservasi sejumlah bahasa daerah di dunia, Living Tongues sampai pada satu simpulan: bahasa tergerus, terancam punah, bahkan punah bukan karena penutur jati, native speaker-nya berhenti berbicara.

Bahasa punah karena para ibu tidak lagi terbiasa dan membiasakan anak-anaknya—sebagai generasi pewaris bahasa—menggunakan bahasa ibu di lingkungan rumah dan kampung.

Ada tiga hal dapat dipahami dari temuan Living Tongues. Pertama, bahasa-bahasa daerah tergerus, terancam punah, bahkan punah justru di rumah penutur sendiri, bahkan di kampung sendiri.

Kedua, ketergerusan, keterancaman, dan kepunahan itu karena penutur jatinya mengabaikan, bahkan meninggalkan bahasanya sendiri.

Ketiga, setelah meninggalkan bahasa ibunya, penutur jati menggunakan satu bahasa lain dalam komunikasi sehari-hari.

Tiga hal ini tidak berlangsung dalam waktu singkat dan cepat, tetapi secara perlahan, bahkan keterjadian itu tidak disadari oleh penuturnya sendiri.

Ketika sadar, para penutur jati yang berusia tua mendapati kenyataan anak-anak dan cucu-cucu mereka tidak bisa lagi berbahasa ibu.

Generasi yang seharusnya menjadi pewaris bahasa ibu, justru telah menjadi penutur jati baru bagi bahasa lain.

Kejadian kematian bahasa ini—meminjam sebutan David Crystal (2014), language death, justru terjadi pada wilayah majemuk bahasa ibu dan di dalam kemajemukan bahasa ibu itu, ada satu bahasa yang berfungsi menjadi “jembatan sosial” bagi masyarakat multibahasa dalam berinteraksi.

Bahasa itu, secara teknis disebut sebagai lingua-franca, bahasa bersama yang digunakan dalam komunikasi lintasetnik, antarpenutur jati masing-masing bahasa suku bangsa, tepatnya bahasa pertama yang diperoleh setiap anak dalam teritori tradisional wilayah pakai bahasa ibu.

Ambil contoh. Saya punya survei kecil-kecilan tentang kebiasaan penggunaan sejumlah bahasa Minahasa di Sulawesi Utara.

Bahasa-bahasa itu oleh ahli disebut sebagai bahasa-bahasa ToN-: bahasa Tondado, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang/Tombatu, Tombulu, juga bahasa Ratahan/Pasan/Bentenan.

Responden dalam survei ini adalah para ibu paruh baya dengan usia 50-an tahun. Para ibu ini bermukim dan bekerja di wilayah Minahasa. Tentu saja anak-anak mereka juga lahir dan tumbuh besar di wilayah pemakaian bahasa-bahasa Minahasa.

Ada enam pertanyaan tentang kebiasaan mereka menggunakan bahasa ibu/bahasa daerah di kampung atau di lingkungan rumah dalam aktivitas sehari-hari.

Apa temuannya? Anak-anak para ibu ini tidak lagi bisa dan biasa menggunakan bahasa daerah—bahasa-bahasa Minahasa. Rentang usia anak-anak mereka adalah 10—30 tahun. Anak-anak ini hanya bisa menggunakan bahasa Melayu Manado, lingua-franca bagi masyarakat Sulawesi Utara.

Riset sejumlah kolega saya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun (Rainannur Latif, dkk) pada 2008 tentang pola-pola penggunaan bahasa daerah di Maluku Utara menemukan kenyataan yang relatif sama dengan hasil survei saya di atas.

Riset itu menemukan satu fakta bahwa pasangan suami istri (sebagai orangtua) usia muda penutur jati beberapa bahasa daerah di Maluku Utara, tidak biasa lagi menggunakan bahasa daerahnya di lingkungan rumah/keluarga.

Karena itu, anak-anak mereka tidak bisa dan biasa lagi menggunakan bahasa daerah/bahasa ibu dari orangtua mereka.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com