KONSEP belajar yang berorientasi pada siswa, perbedaan, keanekaragaman, lokalitas, dan kebebasan bila tidak didampingi dengan metodelogi yang tepat akan membawa pendidikan pada jurang liberalisme.
Terlebih lagi bila melihat ketidakmerataan dan ketidakadilan atribut pendukung pendidikan, potensi tenggelam pada elitisisme akan besar.
Saya ingin mencoba memberi gambaran lewat kehadiran aplikasi digital (Tiktok, Twitter, Instagram, Whatsapps, dsb).
Semua orang mendapat kebebasan saat beraksi di dalam sana. Fitur-fitur terbaru dan fleksibel disediakan sebagai pendukung kebebasannya. Bahkan eksistensi paling aneh, lucu, gila pun (dalam kacamata umum) terfasilitasi. Semua dapat fungsi tersebut secara sama dan merata.
Namun bayangkan, bila aplikasi digital tersebut ternyata tidak memberi pemerataan dan keadilan bagi setiap penggunanya. Ketersediaan fitur nyatanya di tiap pengguna berbeda-beda.
Pengguna A terdapat efek lengkap dengan fitur audio, editing, penerjemah otomatis, dsb. Lalu pengguna B tidak memiliki akses audio dan beberapa fitur seperti yang didapat pengguna A.
Sementara bagi pengguna C, aplikasinya ternyata cuma dapat mengunggah gambar. Dan pengguna D malah lebih parah, aplikasinya hanya bisa digunakan pada hari-hari tertentu lantaran sinyalnya bermasalah.
Keadaan semacam itu kalau diteruskan akan melahirkan elitisme dan ketimpangan. Pengguna A akan lebih mudah dapat apresiasi berupa like, komen, pengikut, sampai titik terbaik bisa buka jasa iklan promosi.
Sementara pengguna lainnya yang sejak awal modal fiturnya terbatas tetap akan berproses sesuai kapasitas modal fitur yang tersedia.
Masing-masing dari mereka memang menjalankan kebebasan aksinya, namun justru hasilnya dihantui disparitas.
Artinya, perayaan kebebasan dan keanekaragaman tetap memerlukan pengontrolan dan pemerataan akses dan alat.
Persoalan semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan menjual motivasi dan pelatihan semata: kalau si A bisa, harusnya si B juga bisa. Lalu membuat subjek percontohan dengan harapan ada gambaran dan pendampingan hasil. Tentu upaya-upaya semacam itu seburuk-buruknya pendekatan.
Dari sinilah pemerintah seharusnya memahami bagaimana perbedaan dan kebebasan tetap perlu dikelola dengan asas keadilan dan pemerataan.
Agar tiap pengguna (dalam konteks pendidikan adalah sekolah, siswa, dan guru) tetap bisa bersaing dengan modal yang berimbang, adil, dan tepat guna.
Praktik pendidikan bermodel seperti ilustrasi “aplikasi digital” di atas sekarang sedang dipraktikkan melalui program-program Merdeka Belajar seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, berbagai praktik, proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), dan diferensiasi pembelajaran.