SETIAP 23 April adalah peringatan hari buku sedunia. Penting untuk diperingati, menjadi bahan refleksi bagaimana kita sebagai bangsa dalam menempatkan buku sebagai instrumen penting peningkatan minat baca untuk membangun peradaban.
Dari data yang dipublikasikan London Book Fair 2019, Indonesia memang ditempatkan sebagai negara yang paling aktif menerbitkan buku di antara negara-negara anggota Asean. Setiap tahun setidaknya ada 30.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia.
Namun sayangnya, produktivitas itu belum berbanding lurus dengan budaya membaca masyarakat Indonesia. Bangsa ini faktanya belum memiliki budaya membaca yang baik.
Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) pada 2019 lalu, Indonesia hanya menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Sementara oleh UNESCO Indonesia ditempatkan pada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61).
Ini tentu saja realitas yang tidak menguntungkan. Wajar kemudian bila negara kita lebih dikenal sebagai negara yang kerap irasional dalam menyikapi berbagai persoalan.
Masyarakat kerap lebih berdasar pada sesuatu yang bersifat tahayul atau khurafat dibanding cara berpikir rasional.
Di berbagai kalangan, mulai masyarakat bawah sampai masyarakat kelas atas, aktivitas tahayul kerap ditemukan. Tidak saja di level masyarakat awam, pada pejabat pun demikian.
Misalnya, ada yang sampai percaya pada pawang hujan oleh sekian pejabat ketika akan meresmikan suatu proyek.
Sehingga tidak heran, bila bangsa ini sulit terangkat dari keterpurukan. Angka kemiskinan terus naik, walaupun berbagai program pengentasan kemiskinan dilakukan, karena masyarakat minim literasi sulit merasionalkan program pemerintah.
Menjadi lumrah bila bangsa ini belum begitu kompetitif. Ketika negara-negara lain berlomba untuk menonjolkan aspek teknik sepak bola, misalnya, masyarakat kita justru masih banyak yang percaya bahwa dengan menggunakan kekuatan-kekuatan magis akan mampu memberdayakan penjaga gawang.
Memang, kebiasaan bangsa kita dalam beberapa aspek kehidupan masih diwarnai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, karena itu bagian dari proses sejarah bangsa ini.
Namun, karena tidak adanya budaya membaca, membuat sebagian besar masyarakat masih tergantung pada kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Selain itu, budaya lisan atau ‘gosip’ juga menjadi persoalan utama dan turut mereduksi perilaku gemar membaca atau upaya pengembangan minat baca masyarakat. Budaya lisan masih dominan di masyarakat dalam berkomunikasi.