Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaafkan Pelaku KDRT Apakah Tindakan Benar? Ini Kata Psikolog Unair

Kompas.com - 01/11/2022, 15:12 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berujung pada pencabutan laporan polisi yang dilakukan selebritas Lesti Kejora memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Sebagian masyarakat justru kecewa dengan pencabutan laporan KDRT tersebut. Hal ini juga menarik perhatian Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Dr Ike Herdiana.

Ike berpendapat bahwa memaafkan pelaku KDRT sebenarnya adalah hal yang baik.

Namun yang perlu ditekankan adalah memaafkan bukan berarti membenarkan tindakan KDRT yang telah terjadi. Pasalnya kekerasan tetap salah dalam sudut pandang manapun.

Baca juga: Intip 6 Sekolah Kedinasan Sepi Peminat 2022, Tertarik Daftar?

Tindakan tepat bagi korban KDRT

Lantas bagaimana tindakan tepat yang perlu dilakukan korban KDRT?

Ike mengungkapkan, memaafkan adalah hal baik karena orang yang mengembangkan sikap memaafkan sebenarnya fokus pada kesehatan mentalnya sendiri.

Orang tersebut justru tidak menyimpan dendam yang justru akan membuat kondisi psikologisnya semakin tidak nyaman.

Ike berpendapat bahwa korban KDRT harus speak-up dan menemukan tempat yang tepat agar terputus dari lingkungan kekerasan yang menjeratnya apalagi jika korban KDRT tersebut telah memiliki anak.

Baca juga: Cerita Ivan, Mahasiswa Sekaligus Marbot Masjid IPB Jadi Juara 1 Pilmapres 2022

Memaafkan pelaku KDRT demi anak

Menurut Ike, apabila keputusan mencabut laporan KDRT dan memaafkan pelaku semata-mata karena demi anak, hal itu harus betul-betul ditelaah kembali.

"Keluarga harus meyakinkan kondisi kekerasan betul-betul tidak terjadi lagi, apalagi di hadapan anak," tutur Ike.

Hal ini dikarenakan anak berhak hidup dalam lingkungan keluarga yang hangat, harmonis, dan penuh kasih sayang.

Anak akan mengalami masalah psikologis jika berada dalam keluarga yang toxic dan saling menyakiti.

Ike menambahkan, seorang ibu yang tidak bahagia karena mengalami KDRT, akan mempengaruhi pola pengasuhan yang dikembangkan bagi anaknya.

Baca juga: Cek 8 Sekolah Kedinasan yang Terbuka bagi Lulusan IPA dan SMK

Pola pengasuhan yang dimaksud ini misalnya pola pengasuhan sangat protektif. Ataupun pola pengasuhan yang mengabaikan karena sibuk mengelola perasaannya sendiri.

"Trendnya, kekerasan itu akan berulang. Bagaimana memastikan bahwa anak akan aman dalam kondisi seperti itu?" tutur Ike.

Agar KDRT tidak berulang

Ike berpendapat agar KDRT tidak terulang lagi, pelaku KDRT harus mencari tahu latar belakang kenapa pelaku melakukan tindak kekerasan.

Apakah karena faktor internal atau eksternal.

Baik faktor pengaruh internal maupun eksternal, pelaku harus berusaha mencari pertolongan lingkungan sekitar dan profesional untuk mengontrol tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan.

Baca juga: Hadapi Ancaman Resesi 2023, Dosen Unair Sarankan Investasi Ini

Sedangkan untuk faktor pengaruh eksternal, pelaku KDRT harus berusaha memutus hubungan dengan pengaruh eksternal yang memicu tindak kekerasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com