Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen Unair Tanggapi Aturan Baru Kemenag Tentang Pelecehan Seksual

Kompas.com - 28/10/2022, 19:32 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

Sumber UNAIR News

KOMPAS.com - Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada 5 Oktober 2022.

Adanya PMA ini mengatur tentang upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama. Baik jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Dalam PMA tersebut, kini bersiul dan menatap seseorang termasuk dalam kategori kekerasan seksual.

Menanggapi kebijakan tersebut, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dwi Rahayu Kristianti menilai kebijakan tersebut sangat mendesak untuk dijadikan isu pijakan hukum.

Baca juga: Rektor UGM Mewisuda Putrinya yang Lulus dengan IPK 4.00

Kemenag perlu mengatur yurisdiksi

Melihat belakangan ini banyak kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup instansi agama. Seperti di pesantren dan madrasah.

Sebelum Kemenag mengeluarkan PMA no 73 tahun 2022, Kemendikbud Ristek telah mengeluarkan Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 tentang Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Kemenag perlu juga mengatur yurisdiksi yang sama dalam lingkup satuan pendidik di bawahnya, sebagai payung hukum yang membijaki," terang Dwi Rahayu seperti dikutip dari laman Unair, Jumat (28/10/2022).

Dalam proses Perancangan Peraturan Perundang-Undangan (PERPU) secara umum perlu dilakukan penelitian.

Itu sebabnya hukum dibuat sebagai law as a tool of social engineering hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat.

Baca juga: Tes STIFIn, Cara Mengenali Potensi Anak dari Otak Paling Dominan

Menurutnya, dalam artian hukum menjadi penunjang atau pendukung atas teori hukum yang dapat merekayasa masyarakat.

Dalam pembuatan kebijakan perlunya beberapa proses yang panjang, melatar belakangi kasus yang merebak. Hingga melewati proses tarik ulur politik hukum sampai resminya sebuah aturan kebijakan.

Ia menegaskan, dalam kalangan sivitas akademika kasus kekerasan seksual menjadi perhatian yang penting. Biasanya dalam kasus tersebut bisa terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa.

Menurut dia, relasi yang timpang itu lingkupnya luas. Pelaku punya andil kuasa yang lebih tinggi dan memberikan sebuah ancaman kepada korban.

Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada internal kampus. Dari pihak kampus pun menutupi kasus tersebut demi menjaga image kampus dengan bertopeng dibalik kata menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Itulah problema yang mengakibatkan tidak berpihaknya pada si korban.

Baca juga: Cek 5 Tahapan Seleksi Masuk Sekolah Kedinasan IPDN Milik Kemendagri

Dampak kekerasan seksual bagi korban perlu diperhatikan

Belum lagi polemik komentar masyarakat Indonesia dengan diksi kata menatap, meyakini hal tersebut dipandang sepele.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com