Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Dalam bekerja, kita pasti mengalami pasang-surut performa. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah kelelahan.
Itu sebabnya, kini banyak pekerja yang mulai menyuarakan untuk menyeimbangkan hidup antara pekerjaan dan aktivitas personal. Para pekerja pun akhirnya hanya fokus menyelesaikan pekerjaan dan kerap menolak jika mendapat tawaran di luar kewajibannya.
Dalam siniar Obsesif musim ketujuh bertajuk “Quiet Quitting” yang dapat diakses melalui tautan spoti.fi/3SvGj1I, fenomena ini disebut sebagai quiet quitting.
Sayangnya, banyak orang yang menganggap fenomena ini negatif. Ellen, sang host, pun menambahkan, “Banyak stereotip yang bilang kalo quiet quitting ini malas. Jadi, makin ke sini banyak pekerja yang malas.”
Mengutip dari Harvard Business Review, quiet quitting adalah fenomena ketika karyawan hanya fokus mengerjakan pekerjaan utama. Artinya, karyawan akan menolak jika diberi tanggung jawab di luar pekerjaan mereka.
Sayangnya, hal ini justru bisa berdampak pada perusahaan. Sebab, seiring berjalannya waktu perusahaan juga mengalami perkembangan. Jika perusahaan berkembang, artinya mereka harus melakukan dan mencoba berbagai hal untuk mencapai tujuan itu.
Praktik di lapangan pun tidak akan selalu mulus. Jadi, karyawan yang enggan dan kerap menolak diberi tanggung jawab baru dianggap kurang memiliki komitmen.
Baca juga: Memaksimalkan Work From Anywhere
Fenomena ini tentu bisa membahayakan perusahaan sebab, “Kalo sebagian pekerja terus-terusan melakukan quiet quitting ini, maka bisa saja kita berujung ke keputusan resign.”
Karyawan yang resign itu nantinya akan memberikan beban kerja lebih ke rekan kerjanya. Jika tak disikapi dengan bijak, rekan kerja itu pun juga bisa melakukan quiet quitting. Perilaku ini akhirnya menjadi siklus yang tak ada ujungnya.
Ada beberapa penyebab karyawan melakukan quiet quitting. Pertama, mereka kurang dihargai di tempat kerja. Alhasil, mereka pun enggan melakukan pekerjaan tambahan di luar kewajibannya karena minimnya apresiasi.
Kedua, banyak orang yang mulai peduli dengan kesehatan mental sehingga pembahasan work-life balance pun semakin digandrungi. “Jadi, mereka masih mengerjakan jobdesc yang mereka pegang tapi berhenti memilih mental hustle yang bisa membuat mereka burnout,” jelas Ellen.
Di samping itu, melakukan pekerjaan di luar kewajiban kerap diasosiasikan sebagai overwork hingga lembur. Hal inilah yang sangat bertentangan dengan prinsip work-life balance.
Perilaku ini bukan hanya harus disadari oleh pekerja, melainkan juga para atasan. Itu sebabnya, atasan harus mengetahui alasan karyawan yang melakukan quite quitting. Apakah itu tentang upah, jam kerja, ketidakcocokan dengan lingkungan kerja, atau kurangnya penghargaan.
Sebab, menurut penelitian Harvard Business Review quite quitting juga bisa disebabkan oleh minimnya komunikasi atasan dan karyawan sehingga kurangnya keterbukaan.