Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isu Pengenaan Tarif Rp 1.000 Setiap Akses NIK, Ini Kata Pakar Unair

Kompas.com - 23/04/2022, 12:59 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Baru-baru ini Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri berencana menarik tarif senilai Rp 1.000 bagi lembaga pengguna database kependudukan setiap kali mengakses nomor induk kependudukan (NIK).

Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk perawatan sistem data kependudukan dalam jangka panjang.

Baca juga: Alami Bau Mulut Saat Puasa? Ini Tips Mencegahnya dari Pakar Unair

Adanya rencana itu, Pakar Kebijakan Publik Unair, Gitadi Tegas Supramudyo angkat suara.

Dia menilai, dasar argumentasi yang digunakan pemerintah masih lemah.

"Filosofi dasar dari penarikan Rp 1.000 itu, kok, untuk peningkatan sarana dan prasarana yang notabene itu tugas negara. Sehingga yang perlu diperkuat adalah argumen yang dipakai, karena itu wilayahnya negara dan menjadi hak warga negara, meskipun yang terbebani itu lembaga-lembaga, katakan bank dan sebagainya," ucap dia melansir laman Unair, Sabtu (23/4/2022).

Perlu transparansi terkait pengenaan tarif akses NIK

Dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) itu menjelaskan, perlu adanya transparansi yang lebih tinggi berupa kesepakatan kontraktual antara pemerintah dengan lembaga-lembaga yang telah ditentukan.

Menurut dia, jangan sampai pada penerapannya lembaga tersebut mengalihkan pembebanan tarifnya kepada masyarakat.

Baca juga: 6 Tips Ajari Anak Puasa Sejak Dini dari Dokter Spesialis Anak RSA UGM

Selain itu, dia juga menyebutkan transparansi harus diterapkan terhadap target kebijakan ini yaitu lembaga-lembaga profit oriented seperti bank, asuransi, dan pasar modal.

Dia mempertanyakan apakah lembaga negara, seperti BUMN yang memang membutuhkan akses NIK dan bersifat profit tergolong dikenakan tarif atau tidak.

"Menurut saya sebaiknya tidak usah dibedakan. Kalau memang murni untuk pelayanan publik dan sosial yang nonprofit, silakan. Tapi kalau lembaga negara yang ada unsur profitnya, menurut saya pemisahannya bukan swasta dan pemerintah, tapi profit dan nonprofit," tegas dia.

Gitadi mengkhawatirkan akan timbulnya ketidakadilan dari pihak lembaga swasta.

Dia menuturkan, sepanjang jumlahnya sedikit, hal itu tidak akan menjadi masalah.

Namun, jika NIK yang diakses itu jumlahnya ribuan atau jutaan akan menimbulkan biaya yang besar. Hal itu tentu menimbulkan diskriminasi.

"Makanya, penting untuk melakukan penajaman kriteria pembebanan supaya adil dan tidak ada unsur tebang pilih. Jadi bukan sekadar menggunakan kewenangan negara secara sepihak, sementara itu ada keadilan masyarakat (pihak swasta) yang terganggu," tutur dia.

Dia berharap, dengan adanya kebijakan pengenaan tarif untuk mengakses NIK ini bisa menjadi kekuatan basis data dan dapat di-backup secara berlapis.

Baca juga: Mau Investasi? Pakar Unair Ingatkan 3 Hal Ini

Hal ini sekaligus mencegah kemungkinan kebocoran atau penyalahgunaan data masyarakat Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com