Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Program Pintar
Praktik baik dan gagasan pendidikan

Kolom berbagi praktik baik dan gagasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kolom ini didukung oleh Tanoto Foundation dan dipersembahkan dari dan untuk para penggerak pendidikan, baik guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, dan pemangku kepentingan lain, dalam dunia pendidikan untuk saling menginspirasi.

Selamat Datang Kurikulum Merdeka, "Sayonara" KKM

Kompas.com - 15/02/2022, 11:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dion Ginanto | Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi

KOMPAS.com - Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar baru saja diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada peluncuran Merdeka Belajar ke-15 pada Jumat, 11 Februari 2022.

Dalam paparannya, Mas Menteri Nadiem Makarim menyebut Kurikulum Merdeka menjadi salah satu alternatif mengatasi krisis belajar akibat ketertinggalan pembelajaran (learning loss) dan kesenjangan pembelajaran (learning gap) yang diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.

Dalam praktiknya, satuan pendidikan tidak harus menerapkan Kurikulum Merdeka secara langsung. Namun dapat memilih satu dari tiga alternatif kurikulum: Kurikulum 2013 secara utuh, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka.

Pemilihan kurikulum ini disesuaikan dengan karakteristik siswa, kekhasan, serta kesiapan tingkat satuan pendidikan.

Yang menjadi pembeda dari Kurikulum Merdeka dengan kurikulum sebelumnya adalah kriteria ketuntasan minimal (KKM) tidak lagi digunakan.

3 alasan KKM tidak relevan

Selama ini KKM menjadi momok para guru di tingkat satuan pendidikan. Mereka dengan setengah hati memberikan angka, yang sebenarnya ia sendiri tidak begitu memahami dari mana angka batas minimum tersebut didapatkan.

Karena ketercapaian pembelajaran adalah domain guru yang bersangkutan, maka ketuntasan peserta didik haruslah dikembalikan kepada guru, karena guru yang lebih mengetahui siswa dan karakteristik pendukung pembelajaran.

Guru harus diberikan keleluasaan untuk mengukur tingkat ketercapaian pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajarannya.

Baca juga: Kurikulum Merdeka, Mendikbud Ristek: Alat Atasi Krisis Pembelajaran

KKM dapat didefinisikan sebagai ukuran seorang siswa yang telah menguasai kompetensi secara tuntas. Jika KKM adalah batas lulus, maka seharusnya KKM ditentukan oleh guru dan satuan pendidikan bukan mengacu pada KKM pada level nasional misalnya 75.

Dengan demikian, KKM sudah saatnya ditinggalkan dengan beberapa alasan:

1. KKM melahirkan angka bukan sebenarnya

Sebagai seorang guru yang telah mengajar sejak 2009, saya merasakan betul bahwa fenomena seperti ini benar-benar terjadi. Bahkan saya sering mencuri dengar dari obrolan para siswa terkait program remedial yang sering dijadikan formalitas mengkatrol nilai KKM.

Saya yakin, sesama guru yang membaca tulisan ini juga mempunyai kesan yang mirip terhadap KKM. Remedial dan KKM secara tidak langsung mempengaruhi semangat siswa.

Siswa tidak mempunyai etos kerja tinggi karena toh nanti jika nilai mereka rendah, akan dijamin minimal sebatas KKM setelah mengikuti remedial.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com