KOMPAS.com - Secara psikologi, manusia cenderung lebih mudah percaya informasi yang sejalan dengan pemikiran dan kebutuhannya.
Padahal, tidak semua informasi yang didapat benar. Sementara, paparan informasi keliru di internet tidak terbendung.
Dari kecenderungan tersebut, karakteristik orang yang mudah terprovokasi informasi keliru atau hoaks dapat ditengarai.
Menurut Dosen Ilmu Komunikasi President University Haris Herdiansyah, ada delapan karakteristik orang yang mudah terpancing hoaks.
"Pertama, yang pasti literasi medianya kurang," ujar Haris, dalam webinar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bertajuk "Memahami Fenomena Misinformasi dan Disinformasi dari Perspektif Psikologi", Selasa (24/10/2023).
Tingkat literasi berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk memetakan media independen, media pemerintah, atau media yang berpihak.
Bahkan, kata Haris, ada pula yang tidak tahu beda media massa dan media sosial.
Sedangkan, informasi di media sosial tidak memiliki keterikatan untuk memenuhi standar jurnalistik, sehingga tidak semua dapat dipertanggungjawabkan.
Karakteristik kedua, yakni mudah tersulut emosi. Orang-orang yang mudah terprovokasi informasi keliru cenderung memiliki sumbu emosi pendek.
Ketiga, kurangnya keterampilan analisis kritis.
Berikutnya, tingkat kepedulian yang rendah terhadap validitas informasi. Contohnya, seseorang langsung memercayai sebuah informasi tanpa ada upaya mempertanyakan kembali.
"Begitu diterima, tidak dikonfirmasi, langsung di-iya-kan," ujar Haris.
Keenam, echo chamber atau ruang gema, sebutan untuk orang yang dilingkupi kelompok atau komunitas yang satu frekuensi saja.
"Individu tersebut dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki frekuensi dan pemikiran yang sama saja," pungkas Haris.
Dampaknya, lingkungan akan memberikan afirmasi atau pembenaran pada setiap informasi yang didapat, meskipun informasi itu tidak benar.