KOMPAS.com - Hari-hari Dyah Sujirah penuh dengan penantian sejak suaminya, Wiji Thukul, hilang di tengah gejolak politik pada masa Orde Baru. Penyair dan aktivis itu menjadi buron Orde Baru karena puisi-puisinya dianggap berbahaya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan Thukul sebagai salah satu korban penghilangan paksa. Ia diduga hilang sekitar Maret 1998.
Sejak Thukul hilang, Dyah membesarkan dua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, seorang diri. Perempuan yang akrab disapa Sipon itu merasa pilu ketika anak-anaknya bertanya mengenai keberadaan Thukul.
”Bapak.....Paaaak, pulang lah! Kami, anak-anakmu, sudah amat rindu akan Bapak,” kata Fitri Nganthi Wani kecil, dikutip dari Harian Kompas, 26 Juli 2000.
Baca juga: Penantian Istri Wiji Thukul dan Janji Jokowi yang Tak Kunjung Dipenuhi
Wani menuangkan kerinduannya ke dalam puisi. Buku kumpulan puisi berjudul Selepas Bapakku Hilang memperlihatkan pemberontakan hati Wani atas hilangnya sang ayah.
”Seharusnya Bapak berdua dengan Ibu mendidik anaknya, tapi kenyataannya hanya Ibu sendiri,” ucap Wani.
Sejak 1996, Sipon dan anaknya-anaknya dibayangi ketakutan. Beberapa kali rumah mereka didatangi polisi yang mencari Wiji Thukul.
Pasalnya, pada 27 Juli 1996 terjadi peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau dikenal dengan istilah Kudatuli.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) di bawah pimpinan Budiman Sudjamitko dituding oleh pemerintah sebagai dalang di balik peristiwa itu.
Sementara, Wiji Thukul aktif di Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) yang berafiliasi dengan PRD. Para aktivis PRD pun diburu, termasuk Thukul.
Kedatangan polisi yang mencari Thukul membuat Wani dan Fajar trauma. Bahkan, Wani yang saat itu masih kecil tidak bisa tidur berhari-hari.
Dikutip dari Harian Kompas, 26 Juni 2009, Sipon menuturkan, peristiwa penggerebekan rumahnya pada 5 Agustus 1996 sangat memukul perasaan dan membuat bingung Wani.
Wani tidak mau tidur hingga berhari-hari meskipun berbagai upaya dia lakukan. Akhirnya Sipon memberikan kertas di dekat tempat tidur Wani.
Setelah menuliskan kerinduannya kepada sang ayah, Wani pun tertidur. ”Saat itu saya baru tahu kalau dia rindu kepada ayahnya,” kata Sipon.
Pengalaman pahit itu ditulis Wani dalam sebuah puisi berjudul "Berikan Aku Keadilan", pada 3 Februari 2001.