Saat itu malam kian sepi
Mataku tak sanggup terpejam
Pikiranku kacau, membayang masa-masa itu
Masa rumahku digerebek polisi
Karena bapakkku terlampau berani
Suarakan nasib rakyat dalam puisi
Sipon tidak mengerti kenapa suaminya menjadi buron Orde Baru dan harus dihilangkan. Berbagai upaya telah ditempuh Sipon untuk mencari suaminya, namun tidak membuahkan hasil.
”Sejak nama suami saya disangkutpautkan dengan Kerusuhan 27 Juli 1996, saya selalu dihujani teror dari orang-orang tak dikenal yang menanyakan di manakah suami saya," tutur Sipon, dikutip dari Harian Kompas, 26 Juni 2009.
"Kini, Mas Wiji sudah tidak ada lagi bersama kami. Namun teror bentuk lain tetap menyergap hati saya, itulah ketidakpastian," ucapnya.
Baca juga: Biografi Wiji Thukul, Penyair dan Aktivis Korban Penghilangan Paksa
Berbagai kabar burung tentang keberadaan Wiji Thukul pun bermunculan. Misalnya kabar bahwa Wiji Thukul disekap di Kepulauan Seribu.
Kemudian ada pula yang menyebut Thukul bersembunyi di Belanda hingga Jerman. Namun kabar-kabar itu tidak pernah bisa dibuktikan dan Thukul tak kunjung ditemukan.
Sipon justru lebih percaya pada mimpinya ketika bertemu dengan Wiji Thukul. Mimpi itu datang di hari ketiga bulan Ramadan tahun 2002.
Dalam mimpinya, Wiji Thukul berdiri di depan Sipon dengan baju panjang warna krem sambil berkata, "kesetiaan itu mahal harganya, Pon."
Harapan Sipon untuk menemukan suaminya sempat muncul ketika Presiden Jokowi mengatakan bahwa Wiji Thukul harus ditemukan dalam keadaan apa pun. Janji itu diucapkan Jokowi dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014.
Perlahan harapan Sipon pupus sebab janji itu tak kunjung ditepati, bahkan hingga Sipon berpulang pada Kamis (5/1/2023). Sipon meninggal dalam usia 55 tahun akibat serangan jantung setelah dirawat satu malam di Rumah Sakit Hermina, Surakarta.
Sejak Thukul buron hingga dinyatakan hilang, Sipon harus menjadi tulang punggung keluarga. Untuk menghidupi kedua anaknya Sipon bekerja sebagai penjahit di rumahnya, Kampung Kalangan, Solo, Jawa Tengah.
Pada 2002, Sipon bahkan nyaris kehilangan rumah yang ia tempati. Rumah petak yang ditempati keluarga Wiji Thukul di Kampung Kalangan, RT 01 dan 02, RW 14, itu sempat menjadi obyek sengketa.
Tanah tersebut digugat oleh ahli waris keluarga Purwowidodo yang mengeklaim sebagai pemiliknya. Keluarga Purwowidodo minta agar tanah tersebut dikembalikan, atau warga membeli kepadanya dengan harga Rp 200.000 per meter persegi.
Sipon saat itu mengaku kebingungan harus mencari uang dari mana untuk membeli tanah tersebut. Sebab ia harus mengeluarkan uang Rp 8 juta untuk membayar tanah.
Baca juga: Jokowi hingga Anies Baswedan Kirim Karangan Bunga Dukacita Meninggalnya Sipon, Istri Wiji Thukul
Namun kebingungan Sipon itu akhirnya terjawab, ketika seseorang dari Jakarta memberi pinjaman uang untuk menutupi kekurangan pembayaran tanah.
Selain dari pinjaman, uang untuk pembayaran tanah itu juga didapat dari hasil jerih payah Sipon dan tabungan.
”Saya merasa bersyukur sekali. Semula saya diliputi kebingungan bagaimana bisa mendapatkan uang Rp 8 juta lebih untuk membayar tanah tersebut,” tutur Sipon, dikutip dari Harian Kompas, 19 November 2002.
Sipon pun akhirnya bisa membayar tanah seluas 84 meter persegi yang di atasnya berdiri bangunan rumah petak. Selama ini bangunan tersebut ditempati Sipon bersama dua anaknya dan ibu mertuanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.