Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dani Ramdani
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Analisis Psikologi Mengapa Terdakwa Tampil Agamis di Persidangan

Kompas.com - 12/06/2022, 07:47 WIB
Kompasianer Dani Ramdani,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menyoal Larangan Terdakwa Tampil Agamis di Persidangan"

KOMPAS.com - Sudah menjadi hal lumrah seorang terdakwa mendadak agamis saat menjalani persidangan. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, tidak semua orang setuju dengan penampilan itu.

Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan geram dengan perilaku tersebut. Dirinya menginstruksikan agar bawahannya tidak menghadirkan mereka di persidangan.

Hal itu dilakukan karena ada pemikiran di masyarakat bahwa atribut agama hanya digunakan saat momen tertentu saja. Tentu hal ini sangat terbalik dengan "citra" atribut agama. 

Untuk memperkuat itu, Jaksa Agung sendiri berencana akan membuat Surat Edaran terkait larangan ini. 

Selain Jaksa Agung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga risih melihat para terdakwa yang mendadak berpenampilan agamis di persidangan.

Baca juga: Penyebab Eucalyptus Beraroma Wangi, Seperti Apa Baunya?

Ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Nafis heran mengapa terdakwa mendadak saleh saat di persidangan. Untuk itu, ia mendukung rencana dari Jaksa Agung.

Tentu kita masih ingat dengan Pinangki, jaksa yang terlibat dalam kasus suap Djoko Tjandra. Ia saat bersidang mendadak memakai hijab. Hal itu berbeda saat ia beraktivitas sebagai jaksa.

Di dalam KUHAP sendiri memang tidak diatur seorang terdakwa harus berpakaian seperti apa. Satu hal yang jelas, tedakwa harus sopan. Tentu yang berhak menilai itu ialah hakim selaku pemimpin sidang.

Setiap orang tentunya bebas ingin berbusana seperti apa di persidangan asal tidak bertentangan dengan norma. Pun begitu saat memakai atribut keagamaan.

Apalagi hal itu menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945. Sehingga sebagian pengamat hukum menilai apa yang dilakukan Jaksa Agung tidak ada urgensinya.

Akan tetapi, kita tentu bertanya. Mengapa terdakwa mendadak agamis saat menjalani persidangan? Tentu ada alasan tersendiri mengapa mereka seperti itu.

Alasan psikologis

Percaya atau tidak, pakaian memiliki semacam "kekuatan" untuk memengaruhi persepsi seseorang. Hal itu memang benar adanya dan bisa berpengaruh pada penilaian orang lain.

Apa yang terlintas pertama kali ketika melihat seorang TNI dengan seragam lengkap? Tentu terlintas di dalam pikiran kita TNI tersebut sangat gagah, tegas, berwibawa. Karena seragam itulah kita seakan terintimidasi.

Begitu juga dengan seorang polisi. Tentu kita akan takut jika ada operasi tilang apalagi jika banyak polisi di sana. Tapi, itulah sisi psikologis dari pakaian.

Itu sebabnya penegak hukum, TNI, dokter, dan profesi lain memiliki seragam. Hal itu untuk menunjukkan otoritas seseorang. Misalnya pintar, gagah, berpendidikan, dan lain-lain.

Pengaruh seragam terhadap psikologi seseorang telah dibuktikan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bickman di tahun 1974.

Penelitian itu berjudul "The Social Power Of a Uniform" yang dimuat di Journal of Applied Social Psychology.

Bickman melakukan uji coba sederhana. Bickman membuat tiga model berbusana. Busana pertama bergaya kasual layaknya warga sipil.

Busana kedua berbusana layaknya seorang penjual susu. Busana ketiga berseragam abu-abu selayaknya seorang polisi.

Ketiga model itu kemudian diminta untuk memerintah pada orang lain secara acak seperti memungut kertas, berderma, dan menjauh dari halte.

Hasilnya orang-orang justru mematuhi pada orang yang bermodel polisi. Studi itu menguatkan jika pakaian memang bisa memengaruhi persepsi orang lain.

Bahkan bisa memengaruhi citra seseorang. Misalnya jika seorang wanita kerap berpakaian minim akan dicap sebagai wanita nakal.

Begitu juga dengan wanita yang berpakaian tertutup akan dicap sebagai wanita baik. Intinya, pakaian memang akan berbanding lurus dengan citra seseorang.

Hal itu yang terjadi pada para terdakwa. Perbuatan dan pakaiannya jelas tidak sejalan. Namun, mereka seakan-akan memberi tahu bahwa mereka telah tobat dan menyesali perbuatannya.

Berpakaian agamis seolah-olah memberi tahu pada kita bahwa terdakwa telah menyesali perbuatannya dan telah kembali ke jalan yang lurus.

Meski begitu citra pakaian tidak selalu positif. Ada juga yang menilai jika satu instansi memiliki citra negatif. Meski begitu, tetap saja kekuatan seragam mampu membuat persepsi orang berbeda.

Memang tidak salah seorang terdakwa memakai atribut agamis. Tapi, seharusnya mereka juga tahu jika atribut itu tidak hanya dipakai untuk menarik simpati saja atau mengubur kesalahan di masa lalu.

Baca juga: Ratusan Tentara Rusia Dipecat karena Menolak Perang dengan Ukraina

Mungkin inilah yang sulit diterima oleh masyarakat secara umum. Pakaian tertutup seolah-olah merepresentasikan jika seseorang harus dibebaskan dari penindasan, dalam hal ini kasus hukum yang ia jalani.

Kegeraman Jaksa Agung bisa kita pahami, tapi seorang terdakwa seharusnya tahu bahwa atribut seperti itu kurang pas jika hanya untuk menarik simpati atau mengekspresikkan telah kembali ke jalan yang benar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com