Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Golek Masih Diminati, Ini Sejarah dan Filosofinya

Kompas.com - 14/02/2022, 14:17 WIB
Farid Assifa

Penulis

KOMPAS.com - Wayang golek merupakan salah satu warisan budaya Indonesia, khususnya Jawa Barat.

Bahkan, wayang golek masuk daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO sejak 2003.

Wayang golek masih diminati masyarakat di tengah gencarnya budaya modern.

Bahkan, menurut seorang peneliti wayang golek asal Perancis, Sarah Andrieu, yang dikutip dari lama resmi Pemrov Jabar, 4 Januari 2022, minat masyarakat terhadap wayang golek terus meningkat karena itu bukan hanya pertunjukan seni biasa.

Kata Sarah, di dalam pertunjukan wayang terdapat "pertaruhan budaya, politik, agama hingga kondisi sosial budaya yang tergambarkan dalam lakon yang diperankan".

Sarah sendiri sudah meneliti wayang golek sejak 2005 dan berhasil membawa budaya itu ke Perancis.

Baca juga: Sejarah dan Filosofi Gunungan Wayang Kulit, Digunakan dalam Uang Logam sampai Simbol G20

Hal yang mendorong Sarah melakukan penelitian wayang goleh adalah seni pertunjukan itu bisa menjadi media untuk menggambarkan situasi Indonesia.

Sejarah wayang golek

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) wayang merupakan boneka tiruan yang terbuat pahatan kulit, kayu dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri, terdapat dua jenis wayang, yakni kulit dan kayu.

Wayang kayu merupakan wayang khas asal Jawa Barat. Wayang ini populer dengan nama wayang golek.

Melansir Kompas.com, wayang golek mulai dikenal masyarakat Jawa Barat pada tahun 1533 Masehi berdasarkan prasasti Batutulis.

Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa wayang golek mulai dikenal di Jawa Barat pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak.

Selanjutnya wayang, baik golek maupun kulit, disebarkan oleh Wali Songo. Wayang dijadikan media dakwah oleh Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga.

Wayang golek awalnya hanya menjadi pertunjukan untuk kalangan priyayi atau bangsawan Sunda di Istana atau pendopo.

Namun kini pertunjukan wayang golek menjadi hiburan rakyat dan bisa dinikmati oleh masyarakat umum.

Setiap pertunjukan wayang golek tidak pernah sepi dari penonton. Bahkan penonton selalu membeludak.

Menurut Sarah, ketika Covid-19, pertunjukan wayang golek dilarang karena bisa memicu kerumunan. Hal itu menunjukkan bahwa wayang golek akan selalu disukai oleh banyak orang.

Salah satu dalang terkenal yang sering membuat pertunjukan wayang golek adalah Asep Sunandar Sunarya.

Dalang yang meninggal pada tahun 2014 silam itu menjadi pertunjukan wayang golek sebagai media dakwah. Kisah yang diceritakan dalam wayang golek sarat pesan agama dan moral.

Filosofi wayang golek

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memegang salah satu tokoh wayang golek, Cepot. Dokumentasi Pemkab Humas Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memegang salah satu tokoh wayang golek, Cepot.

Kisah yang diceritakan dalam pertunjukan wayang golek bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabrata.

Sang dalang menceritakan kisah itu secara kontekstual, yakni disesuaikan dengan kondisi zaman.

Nama-nama tokoh dalam wayang golek berbeda dengan wayang kulit.

Pada wayang kulit, tokoh punkawan yang sering dikisahkan adalah Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.

Sementara wayang golek menggunakan nama karakter Semat, Cepot, Dawala dan Gareng.

Budayawan Sunda asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyebutkan banyak filosofi dan pelajaran hidup yang dapat diambil saat menonton wayang golek. Mulai dari memaknai hidup hingga soal kepemimpinan.

Contohnya saja dalam wayang golek ada tokoh punakawan terdiri dari Semar Badranaya (Semar), Astrajingga (Cepot), Udawala (Dawala) dan Gareng yang kental dengan cerita pemahaman pengabdian kepada pemimpin.

“Kemudian ada kesatria yang kukuh dalam pendirian namun mati di medan perang, Raden Gatotkaca. Dan bagaimana orang yang kukuh dalam pengabdian tidak pernah berbohong, ketika sekali berbohong keretanya patah, ialah Darma Kusumah,” jelas Dedi.

“Ada juga tokoh yang sering kali mengalami kegundahan berpikir dan berubah-ubah karena pengaruh bisikan yaitu Arjuna. Begitu juga politik yang selalu mempengaruhi pimpinannya untuk menguasai orang lain, menginvasi orang lain, menghegemoni orang lain yaitu Sengkuni,” kata anggota DPR RI dari Fraksi Golkar ini.

Baca juga: Sunan Kalijaga, dari Brandalan hingga Berdakwah lewat Wayang

Selain tokoh-tokoh tersebut ada juga Begawan Abiyasa yang berpihak pada Astina karena kewajiban kenegaraanya meski hatinya menolak.

“Tontonlah wayang, dengankahlah suara gamelannya yang penuh cinta, maka kita bahagia dalam falsafah dan makna. Dan jangan memakannya karena akan mendapat petaka,” ujar Dedi Mulyadi, menyindir seorang tokoh agama yang menyebut bahwa wayang adalah haram.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com