Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelam dan Janggal: Peristiwa Lubang Buaya G30S di Mata Kiai dan Dokter

Kompas.com - 03/10/2021, 17:00 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

Dia segera meninggalkan lokasi dan berhasil selamat. Nasibnya cukup mujur.

Pada Jumat pagi, 1 Oktober 1965, barulah dia mendengar adanya pembunuhan terhadap para jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya.

Syakrim lantas kembali mendatangi lokasi. Diketahui, para korban pembunuhan di Lubang Buaya antara lain, Letjen Ahmad Yani, Mayjen TNI Suprapto, Majen TNI S Parman, Mayjen TNI M T Hartono, Brigjen TNI Sutoyo, Brigjen TNI D I Panjaitan, dan Lettu Piere Tendean.

Di sana ia melihat mayat-mayat para jenderal sudah terbaring di atas tanah, setelah sebelumnya sempat dibuang ke dalam sumur tua.

Informasi ini kemudian langsung cepat menyebar di tengah warga di wilayahnya. Puluhan warga yang sebelumnya meminta pendapat terhadap Syakrim juga menerima kabar terkait pembunuhan para jenderal ini.

Syakrim mengatakan, ketika mendengar peristiwa ini, puluhan warga yang sebelumnya sempat diajak bergabung menjalani latihan kaget. "

Mereka bilang, 'wah benar juga, untung Ustaz larang, kalau masuk (bergabung) bisa ketangkap'. Jadi pada gembira dan terima kasih ke saya," ucap Syakrim.

Baca juga: G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok, Apa Bedanya?

Perjuangkan 8 korban salah tangkap TNI

Setelah peristiwa G30S pecah, pihak militer memburu para anggota dan simpatisan PKI yang diduga menjadi dalang dalam peristiwa pemberontakan tersebut.

Dalam perburuan ini, pihak militer melakukan salah tangkap.

Ada delapan warga Lubang Buaya yang diamankan dan dibawa ke Kodam III/Siliwangi. Mereka diduga merupakan seorang simpatisan PKI.

Penangkapan yang dilakukan pihak militer terhadap delapan warga tersebut sampai di telinga Syakrim. Ia mengenal kedelapan orang tersebut dan dipastikan tidak berafiliasi dengan PKI.

Syakrim kemudian melaporkan kepada Lurah Lubang Buaya saat itu agar bisa membebaskan delapan warganya.

Lurah Lubang Buaya yang dia temui justru ketakutan. Pak Lurah tak mau mendatangi Kodam III/Siliwangi karena khawatir ia akan bernasib sama.

Mengikuti hati nuraninya, Kiai Syakrim memutar otak agar bisa membebaskan delapan orang tetangganya itu. Ia kemudian membujuk Lurah untuk meminjam jabatannya guna membebaskan kedelapan warga tersebut. Bujukannya diterima sang Lurah.

Tak berselang lama, ia kemudian berangkat menuju Bandung untuk membebaskan warga Lubang Buaya dengan mengklaim dirinya sebagai Lurah.

Sesampainya di lokasi, ia kemudian bernegosiasi dan meyakinkan petugas bahwa kedelapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan PKI.

Berjam-jam ia bernegosiasi. "Mereka selamat, jarang yang bisa ditolong (kalau sudah ditangkap). Alhamdulillah bisa ditolong hanya karena saya ngaku lurah," ujar tokoh Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Nurul Ibad tersebut.

Baca juga: Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal

 

Gambaran kekejaman yang janggal

Sekian tahun berselang, gambaran kekejaman peristiwa G30S direproduksi dari satu generasi ke generasi.

Saat masyarakat membicarakan Lubang Buaya dan Gerakan 30 September, gambaran yang muncul ialah adegan pembunuhan yang mencekam nan sadis.

Gambaran ini dipercaya merupakan buah kesuksesan propaganda Orde Baru melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.

Sebut saja adegan sejumlah kader PKI yang menari sambil menyanyikan lagu "Genjer-genjer".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com